Hits: 36
Patrycia Gloryanne Pasaribu
Pijar, Medan. Skripsi merupakan tugas akhir berupa karya tulis sebagai syarat kelulusan mahasiswa semester akhir untuk memperoleh gelar sarjana (S1). Dalam pengerjaannya, skripsi memiliki komponen dan kaidah yang kompleks, sehingga prosesnya memerlukan waktu yang panjang.
Mahasiswa semester akhir biasanya melakukan bimbingan dengan dosen, untuk mendiskusikan setiap proses pengerjaan skripsi yang telah ditempuh. Walaupun begitu, terdapat beberapa mahasiswa yang ingin menempuh jalan pintas dengan menggunakan jasa joki skripsi.
Berdasarkan populix.com, joki skripsi merupakan istilah yang merujuk kepada seseorang yang menawarkan jasa pengerjaan skripsi. Skripsi tersebut akan disusun dan dikerjakan sepenuhnya oleh si “penjoki”, sehingga hasil dari jasa joki skripsi tersebut akan dibayar oleh mahasiswa bersangkutan.
Gabriella Keisha Nathania Sinaga, mahasiswi Program Studi Kesehatan Masyarakat angkatan 2021, mengungkapkan bahwa ia pernah ditawarkan menggunakan jasa tersebut. Biasanya penawaran jasa ini akan disebar melalui berbagai kanal sosial media yang bisa diakses dengan menggunakan kata kunci di mesin pencarian (search engine) yang tersedia.
“Bisa juga melalui teman-teman antar-circle ataupun organisasi. Aku sendiri pernah ditawari beberapa kali. Sebenarnya, pilihan mau memakai joki skripsi atau tidak biar jadi urusan masing-masing, yang penting tahu pro-kontranya. Namun, menurut aku fenomena ini cukup memprihatinkan, sih. Karena tujuan skripsi sendiri kan untuk menguji penerapan hardskill dan softskill selama di perkuliahan. Banyaknya penggunaan jasa ini secara tidak langsung mencerminkan bagaimana kualitas mahasiswa ke depannya,” ungkapnya.
Erwansyah, dosen Program Studi Manajemen Universitas Panca Budi, menjelaskan beberapa faktor penyebab mahasiswa menggunakan jasa tersebut, selain dari upaya untuk menempuh jalur instan.
“Beberapa faktor yang memengaruhi hal tersebut bisa dari tekanan akademik, kurangnya kepercayaan diri, manajemen waktu yang buruk, hingga lingkungan sosial. Pengalaman saya ketika mendapati kasus yang seperti ini, saya mengajaknya untuk berbicara dan memberikannya kesempatan untuk mengklarifikasi bila ada indikasi kuat. Apabila terbukti, sanksinya tegas. Skripsi dinyatakan tidak sah dan pengerjaannya di mulai dari awal berdasarkan aturan fakultas,” jelasnya.
Melihat maraknya kasus seperti ini, Erwansyah juga menyampaikan bahwasanya kalangan dosen turut menjadikan fenomena tersebut sebagai refleksi bagi mereka. Refleksi ini bertujuan untuk mampu membangun hubungan lebih dekat dengan mahasiswa, agar para mahasiswa tidak merasa sendirian dalam menyelesaikan skripsi.
“Ke depannya, saya berharap budaya akademik bisa lebih suportif dan membangun. Harapan ini bisa diupayakan dengan cara memberikan pendampingan yang lebih intensif, responsif, dan komunikatif kepada mahasiswa, serta memberikan pelatihan penulisan ilmiah atau klinik skripsi secara rutin. [Hal] yang paling penting, mahasiswa harus sadar bahwa skripsi itu bukanlah beban, melainkan kesempatan untuk berkembang. Jadi, jangan takut gagal dan takut bertanya. Walaupun proses belajar itu memang kadang melelahkan, tetapi hasilnya akan sangat memuaskan,” tutupnya.
(Redaktur Tulisan: Michael Sitorus)

