Hits: 21

Marshella Febriyanti Hutabarat

Suara riuh di luar rumah sore itu membangunkan Lila dari tidur nyenyaknya, suara keras yang mendominasi menyerukan informasi tentang kompetisi memasak yang akan segera diadakan di dekat desa mereka. Lila dengan semangatnya berdiri dari tempat tidur dan segera berlari ke luar mengambil selebaran kertas yang dilemparkan oleh seorang pria tinggi menunggang kuda dengan alat pengeras suara di dekat mulutnya. Inilah yang sebulan terakhir Lila nantikan.

“Perhatian semuanya, keluarga Kerajaan Leudorr akan mengadakan kompetisi memasak terbesar di negeri ini. Pastikan kalian tidak kelewatan kesempatan emas ini!”

Prajurit itu kemudian berlalu pergi menuju tempat lain, memberitakan informasi yang sama.

Lila menatap kertas poster yang ia pungut, sedikit kotor karena terpijak orang lain namun bukan masalah. Garis lengkung sempurna tak lepas dari bibir Lila, angan-angannya melayang jauh menjadi terkenal bila menang nanti. Memang benar, ia ingin dikenal semua orang agar kedai sup ayam jahe milik neneknya bisa ramai kembali seperti saat nenek masih hidup.

”Aku dengar kau akan mengikuti kompetisi memasak itu, Lila?” tanya saudari perempuannya.

“Benar sekali, kau lihat saja aku pasti memenangkannya. Tidak ada yang lebih hebat dariku soal memasak,” jawab Lila sedikit angkuh.

Lila tampak mencari-cari sesuatu di rak buku, meletak asal beberapa buku yang tidak dia inginkan ke sembarang tempat. Sekitar lima menit kemudian Lila akhirnya menemukan buku yang ia cari, bagian atas buku itu tertutupi debu sebab sudah lama tidak dibuka.

“Ini dia buku resep nenek!” seru Lila.

Keesokkan harinya, tanpa mengundur lebih banyak waktu, Lila mulai mempersiapkan bahan apa saja yang akan dia gunakan. Beberapa bahan sudah ada di dapurnya, beberapa lagi akan ia beli besok pagi saat pasar buka. Semua baik-baik saja sampai pada satu bahan yang tidak pernah Lila dengar, ia bahkan tidak tau seperti apa bentuknya.

“Aku tidak pernah melihat nenek menggunakannya.”

Mata Lila berulang kali membaca nama bahan itu.

Lila mengetuk-ngetukkan jarinya ke buku sembari berpikir, “daun bunga peoni, aku akan tanya pada bibi Ola barang kali dia tahu.”

Rumah bibi Ola tidak jauh, jarak rumahnya hanya dipisah oleh dua rumah tetangga. Lila berlari tidak sabar melontarkan pertanyaannya. Sesampainya di depan rumah bibi Ola, yang ia dapatkan adalah pintu rumah yang tertutup dengan gembok kecil di sana.

“Waktunya sangat tidak tepat. Bibi Ola mungkin sedang pergi ke rumah menantunya lagi.”

Lila duduk di lantai kasar halaman bibi Ola, menatap orang yang berlalu lalang melakukan kesibukan masing-masing. Lila kemudian memejamkan matanya sejanak dan mengambil tarikan napas yang dalam, ia berpikir tidak ada waktu untuk menunggu bibi Ola pulang ke rumah.

“Di mana dapat kucari daun bunga peoni ini, ya?” monolognya pada diri sendiri.

“Kau mencari daun bunga peoni?”

Lila terkejut hingga badannya terlompat kebelakang karena ada suara lain yang menyahutinya. Lila menoleh ke samping dan menemukan seorang wanita dengan postur tubuh membungkuk sambil memegang tongkat, wajahnya penuh dengan keriput menandakan wanita di hadapannya itu sudah tidak muda lagi.

“Maaf, nek, apakah kau tau tanaman itu?” tanpa basi-basi Lila melontarkan pertanyaannya.

“Oh, tentu saja nenek tau. Apa keperluanmu mencari daun bunga peoni?” sang nenek lalu ikut duduk di sebelah Lila.

“Aku akan ikut kompetisi memasak. Nenekku dulu menulis resep sup ayam jahe ajaibnya di sebuah buku dan aku akan membuat itu,” jelas Lila.

Nenek menepuk bahu Lila sambil berkata, “aku tidak mau mematahkan semangatmu, nak, tapi percayalah hampir mustahil untuk mendapatkan daun itu.”

Lila mengerutkan keningnya, “Kenapa mustahil?”

“Yang aku tau, tumbuhan itu hidup di puncak gunung Aaso. Puncaknya sangat tinggi serta di sana suhu sangat dingin, pasti sulit mendaki pada keadaan begitu.”

Nenek menjawab pertanyaan Lila sembari tangannya memberi contoh setinggi apa gunung Aaso.

Lila terdiam sebentar lalu membuat nenek terkejut karena tekatnya, “Aku akan ke sana!”

***

Lila mengemasi beberapa buah pakaiannya ke dalam tas ransel hitam, tak lupa ia memasukkan makanan dan camilan. Di depan pintu kamar, saudari perempuannya mengintip penasaran.

“Kau sungguh akan pergi ke gunung Aaso? Aku pikir kau bercanda,” ucap saudarinya dengan nada khawatir.

“Kapan aku bercanda, ini sungguh! Akan aku bawa pulang daun bunga peoni itu,” keputusannya sudah bulat.

“Tolong berhati-hatilah di perjalanan, aku dengar jalanan di sana tidak mulus dan berbahaya. Aku berdoa agar kau selamat sampai rumah.”

Lila mengerti kekhawatiran saudarinya itu sehingga ia hanya mendengar secara saksama lalu merespon dengan anggukan.

Perjalanan Lila dimulai saat matahari bahkan belum terbit, ia ingin sampai lebih cepat. dengan tas ransel yang ia sandang serta peta kecil ditangannya sebagai panduan.

Lima jam sudah Lila berjalan tanpa henti, kakinya seperti mati rasa akhirnya ia memutuskan untuk istirahat sebentar di bawah pohon rindang. Napasnya terputus-putus karena lelah untung sekali embusan angin dapat menyejukkannya yang sudah bermandikan keringat.

Tiba-tiba perkataan dari nenek dan saudarinya terputar dalam ingatan, “ternyata ini lebih sulit dari yang aku bayangkan, tetapi tidak mungkin aku menyerah sekarang.”

Lila menepuk pipinya kuat berusaha menyadarkan pikirannya, ini pilihan yang sudah diputuskan sejak awal, Lila sudah tidak punya pilihan untuk mundur. Ia harus fokus pada tujuan dan memenangkan kompotisi itu.

Di tengah perjalanan, Lila bertemu seorang pemuda yang tingginya tak sampai sebahu Lila, rambut pemuda itu tampak ikal tidak terurus. Pria itu seolah tahu maksud tujuan Lila ada di sekitar gunung Aaso.

“Mencari daun bunga peoni, ya?” Tidak seperti orang asing pada umumnya, pemuda itu tidak suka pembicaraan bertele-tele dan membosankan.

Lila mengangguk, “Benar.”

“Sebaiknya kau pulang. Anak kecil sepertimu tidak akan sanggup mendaki gunung tinggi ini.”

Hey! Lila merasa tersinggung, bukankah yang anak kecil disini adalah kau, pikir Lila.

“Aku bisa jangan meremehkanku!”

Pemuda itu acuh tak acuh dan pergi melewati Lila yang kesal lalu menghilang di balik pepohonan.

Tak lama kemudian gerimis turun dan membasahi seluruh sisi gunung tanpa terkecuali, semangat Lila tidak surut, ia keluarkan payung biru besar  miliknya dan lanjut berjalan dengan hati-hati.

Selama perjalanan tidak jarang ia tersandung batu besar atau kecil, sesekali tergelincir karena lumut yang licin, Lila sempat menangis sebentar karena energinya yang terkuras habis saat berlari dari kejaran anjing.

“Lelah sekali tapi aku tidak boleh lemah, puncak gunung tidak jauh lagi,” ucap Lila masih terisak memberi semangat untuknya.

“Kenapa rasanya aku tidak sampai-sampai? Hari juga sudah semakin gelap.”

Matahari sebentar lagi terbenam, di ujung sana sudah terlihat bulan yang ditutupi awan tipis. Semakin tinggi Lila berada maka semakin dingin suhu sekitar. Jaket tebal yang ia beli bulan lalu bahkan tidak cukup memberi rasa hangat pada tubuh kurusnya.

Saat sampai di puncak gunung tangis Lila pecah, dirinya melompat ke kanan dan ke kiri kegirangan. Akhirnya, pemandangan indah dari atas gunung Aaso membayar semua rasa letih Lila, ia membuktikan dan mematahkan kekhawatiran orang-orang yang mengatakan bahwa Lila tidak akan mungkin mencapai puncak dan membawa pulang daun bunga peoni.

Kini, Lila berdiri dengan kakinya sendiri di puncak gunung melebarkan tangannya menikmati angin malam yang sangat sejuk. Melihat ke bawah dan mengingat perjuangannya hingga bisa di sini sekarang. Memar merah dan biru di kakinya tidak bisa bohong.

“Nenek, aku bisa sampai di sini. Aku berjanji akan memenangkan kompetisi itu, untukmu!” sorak Lila keras tidak peduli hewan buas mendengarnya.

***

Jantung Lila berdegup tidak beraturan, rasanya sesak seperti tidak mendapat pasokan udara yang baik, binar matanya bergetar menanti pengumuman dari raja.

Kompetisi sudah berjalan dengan baik, Lila sudah berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik. Tangannya terkepal sembari bibirnya merapalkan doa saat Raja mencicipi masakannya.

“Saya ucapkan terima kasih banyak kepada semua peserta yang mengikuti kompetisi ini, serta kepada semua rakyat yang turut meramaikan,” ucap Raja mengawali bagian penting yang akan ia sampaikan.

“Saya apresiasi semua masakan kalian, semua disajikan dengan baik. Namun….” Raja seolah sengaja menggantung kalimatnya.

Senyum tipis sang Raja malah membuat lutut Lila lemas, ia tidak sanggup menunggu lebih lama.

“Namun, akan selalu ada yang terbaik dari semua yang baik,” lanjut Raja.

Oh Tuhan, kalau saja berani mungkin Lila sudah berteriak untuk langsung diumumkan tanpa basa-basi.

“Saya dan para koki hebat lainnya sudah berunding menentukan siapa pemenangnnya maka saya umumkan pemenang kompetisi memasak tahun ini adalah ….”

Lila menggenggam erat celana dongker yang ia kenakan hingga terbentuk garis garis lipatan tidak rapi. Tangan Lila sudah berkeringat sejak awal Raja keluar dari ruang diskusinya.

“Pemenangnya adalah Lila dari desa Amabi, saya persilakan maju dan menerima hadiah kehormatan.”

Raja mempersilahkan Lila maju dan memberinya topi putih tinggi khas koki dengan pin lencana berbetuk simbol Kerajaan Leudorr. Semua mata kini memandang kearahnya disertai sorak sorai dan tepuk tangan yang riuh.

Mata Lila berkaca-kaca, ia akhirnya menikmati hasil kerja keras dari tekatnya yang kuat untuk memenangkan kompetisi ini. Tidak ada rintangan yang dapat mematahkan semangatnya dan inilah hadiahnya, kedai peninggalan nenek yang ia urus menjadi ramai kembali berkat kesuksesan Lila.

Leave a comment