Hits: 31

Star Munthe

Pijar, Medan. Apabila ada waktu luang yang lebih panjang dari malam-malam pikiran, aku ingin menghabiskan soreku sekali saja di atas pasir atau batu karang. Mendengar laut yang bernyanyi dengan debur ombaknya. Menatap langit jingga keemasan tanpa tangisan. Melihat matahari yang terbenam tanpa memberi salam perpisahan.

Tentu saja aku berbeda dengan Murakami, aku tak akan berharap kali ini soreku didampingi seseorang. Karena laut sore yang terlalu dalam seperti ini akan menghujankan mata apabila aku terpaksa harus bercerita. Bagiku laut adalah kertas, dan aku ingin menuliskan pikiran-pikiranku yang bersarang hingga menghancurkan setiap impian masa kecil.

Setiap orang ingin tenggelam dalam laut yang membunuh pada akhirnya. Sebenarnya kita tahu akan kalimat itu. Sepertinya kita tahu akan kenyataan itu. Bagai menggantungkan jiwa pada impian yang jawabannya adalah menuju kesempuraan semata. Lalu izinkanlah aku bertanya, apa itu sempurna jika tidak pernah ada yang mencapainya? Karena ketika ada yang berpikir telah mencapainya, ia mengatakan pada dirinya untuk sadar bahwa ia hanya berada di bawah langit yang sama. Waktu lalu memberi arti yang kita sebut sekadar pengalaman sebagai imbalan.

Adakah sore yang tepat untuk aku bisa lepas dari keinginan tenggelam? Karena laut tampak biru, dan itu menggodaku.

Lagi pula siapa yang akan mengerti saat aku berkata, “sepertinya aku tak akan berenang kali ini…”

Karena semua berpikir akan hal, “siapa yang pergi ke laut untuk tidak memeluk sang biru?”

Bagiku tanpa alasan, laut benar adalah sebagai misteri. Dan untuk menceritakan laut, aku harus membilah setiap jutaan sisi dari wajah laut. Aku hidup untuk laut, kau juga. Kita hidup di atas kapal yang terombang-ambing  di tengah laut, di tengah badai. Kita tak memiliki siapapun untuk dipeluk. Kita tak memiliki penolong yang akan tahu dimana letak kordinat kita, lalu ia dtang dengan helikopter penyelamat. Seorang pria turun dengan tangga tali yang terlihat seperti pahlawan. Tidak.

Kita hanya memiliki diri sendiri, berharap bahwa kita akan ditemani seseorang untuk dipeluk. Berharap bahwa kita akan ditemukan seorang pahlawan. Kita penuh dengan harapan.

Sejenak khayalku dilunturkan oleh suara burung camar yang mengisyaratkan bahwa ini waktunya kita untuk pulang. Sebentar lagi terang yang penuh jawaban akan digantikan oleh kelam yang penuh pengalaman.  Bagaimanapun juga aku iri pada mereka. Aku ingin terbang tinggi, melihat kota dengan lampu-lampu kecilnya.

Angin menampar khayalku yang terbang ketinggian melalui cerobong asap pabrik yang tidak berguna. Ya hari ini khayal memang tidak berguna. Hanya saja kita memang lebih menginginkan hal tidak berguna daripada hal berguna yang menyulitkan. Bukankah itu salah satu dari sejuta defenisi kehidupan?

Aku begitu naif, aku terlalu muda sebagai pemuda untuk menangis diatas tumpukan batu karang. Dan aku akan cukup tua sebagai orang tua 70-an yang berlari diatas pasir putih itu. Barangkali memang hidup tidak punya waktu yang tepat, semua yang tak wajar kadang dimaki kata ‘terlalu.’

Hari ini, aku akan memilih tenggelam seperti matahari yang memilih terbenam setelah membuat kepala orang-orang sibuk menjadi terbakar. Aku akan menjadi angin yang melaju keatas pegunungan tanpa mengucap salam perpisahan pada laut. Bukan, aku akan menjadi manusia yang paling abstrak sehingga tak perlu ada terdengar kata yang mampu mendefiniskanku. Aku ingin hidup sebebas huruf yang tak terbaca.

Leave a comment