Hits: 14

 Nathasya Sianipar

Hari ini merupakan jadwal rutin mingguan Andini untuk berlatih balet, terlebih dalam sebulan ke depan Andini akan tampil pada sebuah konser balet yang akan dihadiri banyak sekali penari balet profesional dari berbagai daerah. Bagi Andini ini merupakan kesempatan besar dan kehormatan baginya terpilih untuk dapat tampil pada momen itu.

Berbanding terbalik dengan kesempatan yang berbahagia yang seharusnya membuatnya semangat berlatih, Andini malah tampak murung dan mengurung diri di kamarnya. Ia menatap sedih ke arah sepasang sepatu balet yang tergantung di pintu kamarnya, sepatu balet tersebut tampak sudah rusak dan tidak dapat digunakan lagi. Bagi sebagian orang mungkin ini masalah sederhana, bisa diatasi dengan membeli sepatu balet yang baru.

Namun, bagi Andini sepatu balet ini bagaikan jimat keberuntungan baginya, setiap kali ia berlatih menggunakan sepatu balet tersebut ia selalu merasa lebih luwes dan mampu menari dengan sangat baik. Sepatu balet tersebut sudah bersama dengan Andini melewati berbagai latihan dan kompetisi. Semuanya terasa berjalan dengan mulus saat ia menggunakan sepatu tersebut, sehingga muncul dalam pikiran Andini perasaan keterikatan antara kemampuan menari baletnya dengan penggunaan sepatu tersebut.

“Din, belum berangkat?,” panggil Ibu Andini menilik dari balik pintu kamarnya.

“Sepatuku rusak, Bu,” Andini menatap ibunya dengan mata yang berkaca-kaca.

“Ooh, kalau begitu beli saja yang baru. Di dekat studio tari mu kan ada toko yang menjual sepatu balet,” saran Ibu.

“Bukan begitu Bu. Itu sepatu kesayanganku, tanpa sepatu itu aku tidak akan bisa menari dengan benar. Rasanya aku sudah tidak mau lagi tampil pada konser bulan depan.” Bendungan air mata Andini akhirnya pecah ia merengek kepada ibunya.

Perasaan keterikatan yang berlebihan terhadap sepatu baletnya, membuat Andini merasa tidak percaya diri jika harus keluar dari kebiasaannya menggunakan sepatu kesayangannya tersebut. Ia takut jika harus menyesuaikan diri kembali dengan sepatu balet yang baru, Andini tidak akan bisa menari dengan benar. Namun, Ibu berusaha memahami perasaan Andini dan merangkulnya berusaha memberikan peneguhan.

“Ibu paham betapa kamu menyayangi sepatu itu dan selalu menggunakannya di setiap latihan dan kompetisi yang kamu lalui. Namun, sepatu itu jangan kamu jadikan batasan diri kamu dan menjadikan kamu kehilangan kepercayaan diri kamu, Din,” ucap ibu sambil menatap hangat ke arah Andini.

“Tapi Bu…” Andini masih merengut dengan mata yang memerah karena menangis.

“Kemampuan balet kamu berasal dari usaha dan kerja keras kamu selamat berlatih keras bukan semata-mata karena kamu hanya menggunakan sepatu tersebut. Ibu percaya pada mu, Din. Kamu dan kemampuanmu yang membuat sepatu balet itu berharga melalui kegigihanmu selama ini, bukan sebaliknya.” timpal Ibu.

Andini tersadar dengan ucapan ibunya tersebut dan merasa konyol dengan sikapnya yang ingin mundur dari kesempatan emas tampil pada konser baletnya hanya karena sepatu balet yang rusak.

“Benar kah Bu?,” Andini mengusap air matanya dan menatap ibunya yang dibalas anggukan halus penuh arti.

“Baiklah Bu, ayo kita pergi membeli sepatu balet Bu!” Andini bangkit dari duduknya dengan bersemangat kembali.

Sore itu Andini dan Ibunya bersama-sama membeli sepatu balet baru. Semenjak itu Andini semakin gigih berlatih menuju semakin dekatnya konser balet yang ia nantikan. Tidak ada seharipun jadwal latihan yang Andini lewatkan, hingga pada hari konser yang dinantikan Andini dibanjiri tepuk tangan dan ucapan selamat atas suksesnya penampilannya yang memukau.

Leave a comment