Hits: 37
Shafna Jonanda Soefit Pane
Jika tau dewasa akan seberat ini, aku mungkin akan menikmati masa kecilku dengan lebih baik lagi. Bermain sepanjang hari tanpa kenal lelah, meminta untuk dibelikan boneka dan mainan lucu lainnya sebanyak yang aku mau, memakan es krim dengan lahap setiap harinya, dan masih banyak kegiatan yang biasa dilakukan oleh anak kecil pada umumnya.
Dewasa menurutku tidak menyenangkan sama sekali. Di umur yang sudah menginjak kepala dua, kekhawatiranku akan masa depan menjadi lebih besar. Hampir setiap malam aku memikirkan perihal yang sama, “Akan jadi apa aku di masa depan?” “Apakah aku akan berhasil?” “Apakah cita-citaku akan tercapai?” “Apa orangtuaku bangga dengan pencapaianku hari ini?” dan masih banyak pertanyaan ‘apakah’ lainnya yang berlalu lalang di kepalaku setiap harinya.
Aku mungkin terlihat sangat ceria dengan penuh senyum dan tawa setiap harinya. Namun, satu hal yang mungkin tidak banyak orang ketahui, aku saat kembali ke kamar keciku di kos-kosan sederhana yang tidak jauh dari kampus, adalah aku yang selalu muram dan sulit tertawa.
Kalian hanya akan menemukan aku yang tidak pernah absen menangis dengan berbagai alasan. Seringnya, karena tugas-tugas kuliah yang ternyata begitu sulit dan banyak yang aku tidak pahami. Lebih seringnya lagi, tangisanku berasal dari isi kepala yang sungguh penuh dengan berbagai ekspektasi terhadap diri sendiri.
Rasanya aku ingin sekali memarahi jiwa kecilku saat ini. “Mengapa dahulu dirimu sangat ingin cepat dewasa?” “Mengapa dewasa di kepalamu terasa begitu indah dan menyenangkan?” “Mengapa kau tidak menikmati masa kecilmu dengan penuh bahagia dan sedikit kesedihan?”. Semua kesulitan yang aku alami di masa kecil, rasanya benar-benar tidak pantas jika aku bandingkan dengan apa yang sedang aku alami sekarang. Sungguh, anak-anak kecil lainnya harus tau bahwa dewasa tidak menyenangkan sama sekali!
“Jadi, kamu akan bekerja di mana?”
“Jadi, kamu akan tetap memilih untuk menjadi penulis?”
“Apa kamu yakin, dengan meneruskan cita-cita kecilmu itu, kau bisa memenuhi ekspektasi orang-orang bahkan dirimu sendiri? Ada banyak jiwa yang akan bersandar padamu beberapa tahun lagi. Apa kau sanggup?”
Monologku yang selalu menemani di setiap malam, disertai tangisan piluku yang rasanya menyesali segala keputusan yang sudah aku buat sejak awal. Mulai dari keputusan untuk tinggal sendiri—yang rasanya sama sekali tidak menyenangkan—hingga keputusan untuk mendalami ilmu yang tengah aku pelajari saat ini. Mengapa pula aku memilih program studi ini dari sekian banyaknya pilihan yang ada. Seharusnya, aku menurut kata Ibu untuk memilih Hukum atau Kedokteran, mungkin akan lebih menjamin masa depanku nantinya.
“Nantinya, kamu akan membiayai adik-adikmu di masa depan. Apakah kau sanggup? Bukannya, kau memiliki banyak cita-cita untuk dirimu sendiri juga? Apa kamu bisa menyanggupi semuanya? Adik-adikmu tidak mungkin merasakan kesusahan nantinya, kan? Ah, jangan sampai kau merenggut kebahagiaan mereka.”
Tangisanku pecah, seiring dengan isi kepalaku yang terus berbicara. Cita-cita.. untuk diri sendiri. “Apa sekarang aku sempat memikirkan itu?” “Ada banyak hal yang lebih penting bukan dari cita-citaku sendiri?” Ada masa depan adik-adikku yang sekarang aku genggam.
Untuk persoalan cita-citaku, mungkin bisa nanti saja. Sekarang, aku hanya perlu menyelesaikan perkuliahanku, bekerja, dan nantinya menyekolahkan adikku hingga ia sukses!
“Tapi.. cita-citamu tidak sulit, kan? Kau hanya ingin bertemu idolamu. Kau hanya ingin mengelilingi dunia, menikmati masa mudamu sebelum nantinya bertemu pasanganmu. Bukankah, itu mimpi yang sangat sederhana? Kau bisa capai itu, kok!”
Tidak. Mimpi itu tidak sederhana sama sekali. Mimpi itu sulit. Karena, aku sekarang juga menggenggam banyak mimpi orang lain di tanganku. Aku tidak bisa. Aku tidak mau egois. Mengejar idola, berkeliling dunia, bisa aku lakukan nanti. Sekarang, aku hanya perlu pikirkan masa depan adikku.
“Kamu selalu memikirkan adikmu dan orang-orang di sekelilingmu. Tapi, siapa yang memikirkanmu? Bahagiamu? Cita-citamu? Siapa?”
Kemudian tangisku, pecah..lagi.
Tidak ada, tidak ada yang memikirkannya. Bahkan, aku sendiri juga tidak.
Lagi-lagi, aku peluk ragaku sendiri. Kutumpahkan seluruh tangisku malam itu sembari menggigit kedua belah bibirku—menahan agar rintihan tangisku tidak keluar lebih banyak. Rasanya sakit, sedih. Tidak ada yang memelukku. Tidak ada yang bertanya apakah aku baik-baik saja. Tidak ada yang memeluk ragaku. Hanya aku, hanya diriku sendiri yang kupunya saat ini. Aku sendiri, tidak ada siapa-siapa di sini.
“Aku cuma mau dipeluk.. sekali aja, boleh?”
“Aku cuma mau ditanya, gimana harinya? Capek? Ada cerita apa hari ini?”
Aku menyeka air mata, mengambil benda pipih di hadapanku dan mulai merekam tangisku malam itu. Konyol, tapi ini cukup ampuh untukku meredakan tangisku sendiri yang sudah semakin jadi.
Tiba-tiba, suara panggilan telepon masuk. Aku membuka mata, meraih ponselku dan menggeser tombol hijau—menandakan aku menerima panggilan tersebut.
“Halo?”
“Bangun, tiga puluh menit lagi kelas dimulai.”