Hits: 16

Raymond Putra Pratama Silalahi

Hari itu terasa berbeda. Kuri merasa tidak bersemangat sehingga ia hanya duduk diam di samping Lubo. Sebenarnya ini bukan tanpa sebab, Kuri hanya tidak bisa menerima apa yang menimpa Lubo, kucing kesayangannya.

Setelah petualangan mereka mendaki Bukit Mawar untuk melihat bunga musim semi dua tahun yang lalu, Kuri tersadar bahwa umur Lubo tidak sepanjang dirinya. Alasan itu membuat Kuri lebih banyak menghabiskan waktu dengan Lubo. Mereka sering berpergian untuk melihat alam yang indah, bermain air, memancing bersama, atau sekadar berbaring di bawah pohon yang berada di halaman rumah.

Sampai suatu hari, Lubo yang biasanya suka berlari, pada pagi itu hanya terbaring di tempat tidur mungil berwarna biru miliknya. Kuri melihat bahwa mangkuk makanan dan minuman Lubo masih terisi penuh, menandakan bahwa Lubo tidak makan dari semalam. Kuri yang khawatir langsung mengadukan hal tersebut pada Ibu Delma.

Mereka membawa Lubo ke rumah sakit hewan milik Ibu Desy, kakak dari Ibu Delma. Perjalanan mereka tidak begitu jauh karena rumah sakit tersebut berada di tengah kota. Setelah sampai, Ibu Desy menyambut mereka dengan baik dan menyapa Kuri dengan hangat, sembari mendengarkan alasan yang membuat mereka mendatanginya.

Ibu Desy membawa Lubo ke suatu ruangan dan memeriksa Lubo selama hampir satu jam. Kuri hanya menundukkan kepalanya dan merenung, sedangkan Ibu Delma duduk di sebelah Kuri sambil mengelus kepala Kuri.

Setelah Ibu Desy keluar, ia mengajak Kuri dan Ibu Delma masuk ke ruangan itu. Ibu Desy menceritakan apa penyebab Lubo sampai sakit seperti ini.

“Kuri, dengan sedih Ibu harus mengatakan bahwa Lubo terkena virus yang mematikan. Ini sulit untuk diobati karena Lubo juga sudah tua,” katanya kepada Kuri.

Kuri mulai menangis dan memeluk Lubo. Ia tidak menyangka bahwa apa yang Ibu Delma katakan dulu dapat terjadi secepat ini. Ibu Desy memberikan obat untuk Lubo dan memperbolehkan mereka pulang untuk merawat Lubo di rumah. Ibu Desy juga mengatakan bahwa umur Lubo tidak akan panjang lagi karena terkena virus tersebut.

Hal itu menjadi alasan besar mengapa hari ini Kuri merasa tidak bersemangat. Ia khawatir dengan keadaan Lubo yang semakin hari semakin tidak baik-baik saja. Kuri tidak ingin menyia-nyiakan waktunya dan terus menjaga Lubo dengan tulus.

“Aku tidak ingin meninggalkan sahabatku bertarung dengan sakitnya sendirian,” kata Kuri kepada Lubo. Lubo hanya menjilat jari Kuri yang diarahkan pada bibir Lubo. Kuri terus mengelus Lubo dan sesekali memeluknya.

Keesokan hari pun tiba. Kuri yang tidur di samping Lubo terbangun dan langsung melihat Lubo. Kuri sengaja tidur di sofa agar dekat dengan tempat tidur Lubo. Pada saat itu, keadaan Lubo semakin parah dan tidak bisa makan. Lubo memuntahkan semua makanan yang ada di perutnya. Kuri merasakan sakit hati yang teramat besar. Ia merasa ketakutan akan kehilangan sahabatnya itu.

Setelah beberapa jam, tiba-tiba Lubo mengeong panjang dan menjilat tangan Kuri. Ibu Delma yang datang memberikan Kuri sarapan paginya menyaksikan keduanya. Melihat Kuri dan Lubo, Ibu Delma pun ikut memberikan jarinya agar Lubo dapat menciumnya. Bagi mereka, itu adalah tanda kasih sayang.

Namun, tidak hanya tanda kasih sayang, ternyata itu adalah ciuman terakhir yang Lubo berikan untuk menyampaikan salam perpisahan. Lubo berhenti menjilat, kepalanya jatuh, matanya tidak lagi terbuka. Kuri hanya diam dan mengelus Lubo. Ibu Delma memeluk Kuri dengan kuat. Kuri mulai menangis sambil mengingat semua kenangannya bersama Lubo.

Kuri tidak menyangka hari ini akan tiba. Hari di mana ia harus berpisah dengan sahabat sejatinya. Hari di mana ia sadar bahwa musim semi nanti tidak akan lagi sama. Hari di mana ia akan melihat bintang sendirian. Hari itu terasa berantakan. Rasa sakit hati Kuri berada di puncaknya. Segala kesedihan ia rasakan sampai ia menangis dengan kuat.

Saat itu Ibu Delma hanya memeluk Kuri. Membiarkan Kuri membuang semua rasa sedihnya, membuang semua penderitaannya, dengan harapan air mata Kuri dapat membawa pergi semua sakit hati yang ada di hati Kuri.

Tiga puluh menit berlalu, ruangan itu hanya diisi oleh suara tangisan Kuri. Ibu Delma memberikan Kuri segelas air untuk ia minum. Ibu menenangkan Kuri dan mengajaknya untuk menguburkan Lubo di bawah pohon tempat mereka sering bermain dan tidur siang.

Mereka pun mengubur Lubo. Kuri meletakkan banyak sekali bunga yang ia petik dari halaman rumah mereka. Kuri juga mendoakan Lubo agar ia selalu bahagia dan mengucapkan terima kasih karena telah menjadi sahabat baik Kuri.

Beberapa hari berselang, Kuri hanya duduk di dekat jendela yang menghadap ke bawah pohon tempat Lubo dikuburkan. Ia masih merasa bahwa hari itu adalah hari yang sangat menyakitkan, karena tidak ada lagi sahabat sejatinya yang selalu senang bermain bersamanya. Kuri merasa hampa dan kosong.

Ibu Delma menghampirinya dengan membawa segelas susu coklat kesukaan Kuri. Awalnya ia hanya diam menemani Kuri termenung. Beberapa saat kemudian, Ibu Delma memecah kesunyian dengan bertanya kepada Kuri.

“Apa kamu tidak berpikir bahwa Lubo akan ikut sedih jika melihatmu bersedih?”

Kuri melihat Ibu Delma dan menjawab sambil menangis. “Ibu, aku tidak bisa menahan rasa sakitnya, rasanya sakit sekali. Aku kehilangan sahabatku, aku merasa hampa.”

“Kamu harus belajar merelakan, Kuri. Kamu harus menerima bahwa kita pasti akan menghadapi perpisahan. Mau itu dengan seseorang, ataupun hewan kesayangan kita. Bahkan kita sering kehilangan mainan kesukaan kita,” kata Ibu sambil mengelus kepala Kuri.

“Tetapi, melalui kehilangan kamu bisa belajar bagaimana caranya mengikhlaskan. Lubo yang pergi akan selalu hidup di hatimu selama kamu mengingatnya.”

“Apa ia bahagia Bu, bersamaku semasa hidupnya?” tanya Kuri.

“Apa kamu bahagia sudah menghabiskan banyak sekali waktu bersama Lubo? Kalau kamu saja bahagia, pasti Lubo merasakan hal yang sama. Kamu tidak perlu menyesal karena kamu sudah memberikan harta karun kehidupan untuk Lubo, yaitu kasih sayang,” kata Ibu Delma sambil menghapus air mata Kuri.

Keheningan kembali terjadi. Kuri melihat sekelilingnya. Tempat tidur mungil yang kosong, tempat makan kucing yang tidak berisi, tidak ada bulu putih yang berserakan di sofa, dan tidak ada lagi kucing yang mengeong sembari mengelus kaki Kuri dengan kepalanya. Kuri sadar bahwa semuanya sudah menjadi kenangan.

Kuri mengambil tas yang berisi banyak sekali foto kenangan bersama Lubo. Ia termenung di depan foto tersebut. Kuri berhenti menangis dan melihat bahwa di dalam foto tersebut, Lubo selalu berlari, melompat, berguling, dan bermain. Tanda bahwa Lubo menjalani hidup yang bahagia.

“Ibu, aku ingin menempel foto-foto ini di dekat tempat tidur Lubo. Aku mau melihatnya setiap saat ada di sana,” kata Kuri sambil tersenyum.

Ibu Delma juga tersenyum dan sadar bahwa ini adalah cara Kuri untuk merayakan kepergian sahabatnya, merayakan sakit hati yang luar biasa ia rasakan.

Ibu Delma membantu Kuri menempelkan foto-foto tersebut pada sebuah tali dan menggantungnya di atas tempat tidur Lubo. Kuri juga manambahkan beberapa mainan kesukaan Lubo di dalam tempat tidur Lubo. Ia merasa bahagia telah melakukan itu.

Lubo mengajarkan Kuri bahwa kepergian itu memang menyakitkan, tetapi kenangan yang berlalu sudah menjadi bukti bahwa kepergian ini tidak perlu disesalkan. Hari bermain dan kenangan yang manis sudah menjadi harta karun indah bagi Lubo dan Kuri. Kuri memang kehilangan Lubo, tetapi Lubo akan selalu ada untuk Kuri dan menetap di hatinya.

Ibu Delma duduk di dekat jendela sambil meminum air yang baru saja ia ambil. Ia nampak kelelahan karena membantu Kuri menghias tempat tidur Lubo. Tiba-tiba, Kuri berlari keluar dari rumah sambil membawa sesuatu di tangannya. Ibu Delma melihatnya dari kaca jendela yang ternyata Kuri berlari menuju kuburan Lubo. Kuri meletakan sebuah mainan patung kucing putih di atas kuburan Lubo, lalu menaburkan bunga di atas kuburan tersebut. Kuri mendoakan Lubo dan tersenyum, lalu berlari ke dalam rumah.

Ibu Delma merasakan bahwa Kuri sudah membaik dan mulai bersemangat lagi. “Ibu aku rindu pada Lubo, tetapi jika aku menangis, ia pasti akan bersedih meliahatku. Aku tidak akan menjadi sahabat yang jahat dengan membuatnya bersedih,” kata Kuri tersenyum sambil mengusap air mata yang keluar dari pipinya.

Hari itu. Hari di mana tidak ada lagi Lubo. Hari di mana semua semakin berbeda. Dan hari di mana Kuri belajar mengikhlaskan Lubo yang pergi berkelana sendirian.

“Aku harap, ada hari di mana kita akan berpetualang bersama lagi, ….. nanti,” ucap Kuri tersenyum.

 

Leave a comment