Hits: 15
Tulisan mengandung adegan kekerasan yang mungkin tidak nyaman bagi sebagian pembaca. Pembaca diharap bijak dalam menyikapinya.
Aura Qathrunnada Gultom
Fajar yang begitu sunyi, langit masih gelap berwarna biru tua. Suara kicauan burung yang merdu membuat telinganya merasa diberkati oleh Tuhan. Dialah Chairil, seorang remaja yang beranjak dewasa berumur 17 tahun. Postur tubuhnya tinggi, kulitnya sawo matang serta rambutnya yang sangat hitam terlihat kebiru-biruan di bawah cahaya rembulan.
Dia mengingat kecelakaan yang terjadi beberapa tahun lalu yang membuatnya cedera otak. Sakit yang dirasakannya masih terasa sempai sekarang, membuatnya terbebani sehingga pikirannya terasa berat. Seketika itu dia mencampakan gelas yang ada di meja samping tempat tidurnya.
Praang.
Volume suara pecahnya gelas itu sangat besar, sambil menangis dia hanya melihat pecahan gelas itu.
Tak lama kemudian kakaknya datang.
“Apa? Kau pecahkan lagi gelas ini? Kau seharusnya bisa mengontrol pikiranmu Ril,” ekspresi yang dipasang oleh kakaknya sangat tajam dan kesal seakan yang dilihatnya itu bukan adiknya.
“Aku tidak bisa kak, rasanya sangat sulit untuk mengendalikan pikiranku,” Chairil menjawab dengan air mata yang terus berjatuhan.
Chairil dari dulu sudah sangat membenci kakaknya yang selalu kasar dan muak kepadanya. Namun, dalam hatinya dia masih menyanyangi kakaknya, begitu pula dengan kakaknya.
Kecelakaan yang terjadi beberapa tahun lalu berupa kecelakaan mobil tunggal yang menewaskan kedua orang tua mereka. Pada saat itu Chairil mengalami kelumpuhan di salah satu saraf otaknya dan didiagnosis menderita alien hand, yang mana dia tidak bisa mengontrol antara pikiran dan gerakan tangannya.
Penyakit ini menyebabkan ia tidak dapat menentukan gerakan apa yang harus dilakukan tangannya, tangannya bergerak sesuai refleks langsung dari pikiran yang ada di dalam kepalanya. Hal tersebut menyebabkan gerakan yang spontan tanpa memikirkan akibat yang terjadi.
Matahari mulai naik dari ufuk timur.
“Sudah kau sekarang harus sarapan, cepat sana,” kakaknya berkata dengan sangat marah dan menolehkan wajahnya.
“Ya, kak,” jawaban yang sangat singkat dilontarkannya. Mereka berdua saling membenci satu sama lain, letak kasih sayang mereka tersembunyi di lubuk hati terdalam mereka sehingga terlihat bahwa hubungan mereka dilandasi hanya dengan kebencian.
Chairil berjalan ke dapur untuk sarapan seperti yang diperintahkan kakaknya. Dia ingin mengambil piring dan sendok di rak, tetapi rasanya sangat sulit untuk mengambilnya karena dia tidak terniat menyantap makanan. Dia hanya melakukannya karena diperintahkan, jika ia menolak pasti kakaknya akan mengeluarkan kalimat yang menyakitkan hatinya lagi.
Tangannya entah bergerak ke mana-mana, akhirnya ia meminta tolong “Kak, tolong ambilkan piring dan sendok,” dia berkata dengan sedikit ketakutan.
“Kenapa harus aku? Kan sudah kubilang kau harus bisa mengontrolnya,” kakaknya berkata sambil mengambil sendok dan piring tersebut. Kata-kata yang diucapkan kakaknya sudah diprediksi oleh Chairil.
Chairil diam saja, dia tidak menjawab atau merespon apa yang dikatakan kakaknya. Kakaknya perempuan yang tegas dengan paras yang sinis. Chairil mengambil makanannya, kali ini dia bisa mengambilnya.
“Ini kau bisa mengambilnya, kenapa tadi tidak? Kau terlalu manja,” kakaknya berkata dengan sangat tajam membuat hati Chairil terluka. “Kau tahu kau menjadi beban bagiku, sejak kejadian kecelakaan itu,” sambung kakaknya lagi.
Kali ini sakit hatinya Chairil menjadi kemarahan.
“Aku harap semua ini tidak pernah terjadi,” satu kalimat lagi dari kakaknya membuat Chairil sedih, marah, sakit hati, semua sekaligus.
Namun, kali ini tidak ada air mata yang terjatuh. Reflek mendengarnya, dia mundur ke tempat wastafel dan seketika tangannya melempar pisau yang ada di wastafel ke arah kakaknya. Lagi-lagi tanpa sadar, pisau itu terkena perut bagian tengah kakaknya dan ia terkejut.
“Kau berani menyakitiku?” kakaknya kesakitan sambil memegang pisau tersebut dan menangis.
Chairil langsung menelpon ambulans dan meminta pertolongan untuk dibawa ke rumah sakit. Setelah sampai, kakaknya diobati dan untungnya hanya terkena lapisan kulitnya dan dapat diobati.
Setelah dirawat, Chairil meminta maaf “Kak, maafkan aku, aku bersalah, aku tidak bisa mengendalikan apa yang dipikiranku dan ditanganku.”
“Aku juga minta maaf, mungkin selama ini aku terlalu kasar, aku tahu kau tidak bisa mengendalikannya. Aku hanya lelah dan kesal, tapi apakah kau tahu apa yang bisa kau kendalikan?” kakaknya berkata dengan tenang.
Chairil bergeleng-geleng. Kakaknya tersenyum sambil memegang tangan Chairil dan meletakkannya di dada Chairil.
“Hatimu.”
Suatu kata yang membuat Chairil tersenyum.
“Aku sangat ingat saat kau pertama kali dapat berjalan. Itu merupakan pengalaman yang indah bagiku,” kakaknya berkata demikian, Chairil pun tersenyum.
“Setelah melihat masa kecilmu yang sangat cemerlang, saat itu juga aku berjanji pada diriku sendiri agar merawatmu dengan baik dan bersikap dengan baik pula,” ujar kakaknya.
“Namun, sekarang aku malah memperlakukanmu bukan seperti adikku sendiri. Ini salahku. Maafkan kakak, Chairil,” sambung kakaknya dengan air mata yang berjatuhan.
“Tidak kak, ini bukan kesalahan kakak. Kakak merawatku dengan baik dan menjadi orang yang tangguh dan berani. Ini semua rencana Tuhan dan di balik semua ini pasti ada hikmahnya,” jawab Chairil dengan memeluk erat kakaknya penuh kasih sayang.
Selama ini hal yang membuat kakaknya bersikap dingin dan kasar juga dipengaruhi dari kecelakaan tersebut. Rasa bersalahnya timbul karena hanya ia yang tidak mendapatkan dampak fisik dari kejadian tersebut. Hal tersebut mempengaruhi kondisi mentalnya yang membuatnya bersikap berbeda dari biasanya. Perannya sebagai kakak tertua membuat dia merasa terbebani dan memiliki tanggung jawab yang besar bagi adiknya. Setiap ia merasa tidak memberikan yang terbaik, ia selalu menyalahkan dirinya.
Dari pandangan Chairil, kakaknya adalah seseorang yang dulu ia kenal sebagai pintar, tangguh, dan pemberani. Kakaknya merupakan idolanya saat masih kecil. Sejak kejadian kecelakaan tersebut, ia merasa kakaknya berubah menjadi seseorang yang dingin. Namun, ia tetap mengaguminya dalam hati karena ketabahannya. Ia sering melihat kakaknya menangis setiap malam, membuat hatinya merasa iba.
Keduanya sebenarnya memahami satu sama lain perasaan masing-masing, tetapi terlalu canggung untuk menyatakannya, karena mereka tidak banyak bicara sejak kecelakaan tersebut. Hubungan mereka seperti bukan antara saudara kandung sebelumnya karena kurangnya komunikasi dan tidak pernah mengekspresikan perasaan mereka.
Setelah melakukan perawatan dengan maksimal di rumah sakit serta pengobatannya, mereka kembali ke rumah. Mereka belajar atas kesalahan yang mereka lakukan dan kasih sayang mereka terlihat satu sama lain. Setiap mereka mengingat kejadian tersebut, tidak ada rasa penyesalan di antara keduanya, mereka berdua sadar betapa pentingnya komunikasi sebagai saudara. Jika kejadian tersebut tidak pernah terjadi, maka mungkin sampai saat ini mereka masih bersikap dingin satu sama lain. Akhirnya kehangatan rumah itu kembali sejak terakhir kali orang tuanya masih ada.