Hits: 27
Rizha Ananda
Aku masih terdiam membisu. Sudah dua menit, sudah. Mungkin. Bukan tak ingin membalas perkataannya, tetapi aku hanya tidak tahu bagaimana cara untuk meresponnya lagi. Semua kata-kata yang ia lontarkan padaku sudah cukup menamparku berkali-kali. Rasanya seperti ditampar dengan pecahan gelas.
“Jadi, sekarang maumu aku harus apa?” tanya dia sekali lagi sambil menantangku.
Apalagi yang harus aku katakan agar dapat meredam emosinya? Kenyataannya aku hanya benar-benar diam seperti orang bodoh. Sekarang sudah cukup untuk membuktikan kekalahanku.
“Apa kau merasa punya hak, begitu? Melarangku berhubungan dengan laki-laki lain selain dirimu?”
Iya!
“Hanya karena kau adalah sahabatku, kau merasa sudah memiliki hak itu?”
Apa? Tidak begitu.
“Sangat lucu. Kau bilang kau tak ingin menghancurkan persahabatan kita selama lima tahun ini. Kau bilang kau tak mau mengikuti hatimu lebih jauh denganku. Kenapa? Apa aku sebegitu buruknya di matamu? Apa menurutmu perasaanku tidak ada artinya untukmu?!”
Bukan!
“Setelah mengatakan hal itu dulu, sekarang kau merasa bingung dengan perasaanmu sendiri, kan? Aku sudah berupaya sesakit mungkin untuk melupakan rasa bodoh yang pernah kumiliki terhadapmu. Tetapi, kau mencegahku setiap aku dekat dengan laki-laki lain, kau memperlakukanku seakan aku adalah milikmu. Lalu maumu apa? Kau tak menerimaku, tapi kau juga mencegahku untuk pergi.”
Aku mengepal tanganku lemah, semua yang ia katakan itu benar, tetapi aku masih tak berani untuk membalas ucapannya. Aku tak tahu apa yang harus aku katakan walau otakku tak berhenti bekerja.
Saat itu aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku yang sebenarnya. Walau pada akhirnya kau berkata kau ingin tetap pada porsi kita tanpa mengubahnya lebih jauh. Aku menghargainya, aku menghargai keinginanmu. Lalu kenapa? Kenapa sekarang kau selalu melarangku untuk menemui laki-laki lain? Kenapa?
Entah, aku juga tidak memiliki alasan yang pasti. Aku hanya tak bisa.
“Posisikan dirimu seperti apa yang kau katakan padaku dulu! Sadarkan dirimu! Apa yang sebenarnya kau inginkan?!”
Kumohon, jangan menangis.
“Apa kau tahu bagaimana aku bisa menata hatiku sendiri? Bersikap biasa saja, dan mencoba untuk tersenyum saat kita bertemu setelah aku menyatakan perasaanku.”
Oh! Tidak, aku melukainya.
“Mengapa kau seperti ini? Melarangku untuk masuk dan menahanku untuk pergi, mengapa?”
Aku tak ingin kau pergi, hanya itu.
“Apa kau selalu seegois ini, Dean?”
Benar, pada akhirnya aku sama saja dengan semua laki-laki brengsek yang kau ceritakan padaku.
“Jika saja kau mau menerimaku dulu, akan lebih baik untuk menjalaninya saat itu daripada kita harus menghadapi situasi seperti ini sekarang”
Aku mengulurkan tanganku, mencoba untuk menghapus air dari matanya yang membuatku membenci diriku sendiri. Tapi dia langsung menepisnya, lalu mundur dua langkah. Tidak, kumohon. Apa lagi yang ingin kau katakan? Cukup.
“Hari ini kau akan kehilangan banyak hal. Satu, kau takkan pernah bisa memulihkanku seutuhnya, sekarang giliranmu untuk melakukan apa yang pernah kualami, bersikaplah seolah hal ini tak pernah terjadi ketika kita bertemu lagi. Dua, kau kehilangan hatiku, usaha yang aku lakukan dengan susah payah dan rasa sakit sudah menerima hasilnya. Terakhir, kau kehilangan sahabatmu, orang yang kau lindungi selama lima tahun ini.”
Apa yang dia katakan? TIDAK.
“Dean, tenanglah. Tak akan kubiarkan kau merasakan apa yang telah aku rasakan dulu, menahan rasa pedih dan bersikap biasa saja setiap kali kita bertemu. Karena sudah kupastikan jika kesempatan kedua itu takkan ada lagi. Aku tak ingin menemuimu lagi, kumohon hargai keinginanku seperti yang aku lakukan dulu terhadapmu.
Dia pergi dan aku tak bisa menahannya. Tak ada lagi yang bisa kulakukan, semuanya sudah selesai. Selesai seperti ini, meninggalkan bekas tamparan yang tak pernah dia lakukan padaku, rasa sakit yang tak bisa sembuh hanya dengan mengandalkan obat, juga kehilangan yang tak ada satupun bisa menggantikan posisinya.
Hancur.
Salahku.
Hilang.
Dan selesai.