Hits: 19
Star Munthe
Pernah pada suatu pagi yang biru aku terbangun. Kemudian melintaslah sebaris pertanyaan yang kiranya cukup tajam, “Apakah revolusi itu benar-benar ada atau sekadar mimpi indah bagi mereka yang tertindas ataupun dirampas haknya?”
***
Sore ini aku berkunjungg di sebuah kedai kopi tanpa memesan kopi. Ibarat memilih kehidupan tapi tak memesan takdir. Aku berkunjung bukan untuk menghitamkan imaji lewat kopi hitam yang tertuang melalui rongga mulut. Aku kesini untuk bertanya pada semua orang yang berpikir, apakah mereka mengaungkan nilai-nilai kemanusiaan atau lebih suka mencaci dan tertawa lepas tanpa alasan yang tidak baik didengar oleh anak-anak.
Tapi kesialan kini berada di pihakku, tak ada siapa-siapa di kedai kopi ini. Tampaknya orang-orang sedang sibuk membangun kerajaan masing-masing di atas pasir. Sepi hanya coba dilawan oleh aku dan seorang barista wanita dengan gawainya.
“Mba, permisi… Mba,”
Matanya mengarah tepat ke mataku. Sasaran tepat. Dengan membaca makna lengkungan bibirku, dikiranya aku akan memesan kopi. Ia datang dengan secarik kertas putih dan satu pena.
“Selamat sore, mau pesan apa?”
“Hmm bolehkah aku memesan jawaban dari pertanyaan yang sejak tiga bulan lalu masih bersarang di kepalaku?”
“Maaf,” sambutnya dengan kedua alis terangkat, kemudian menyambung,
“Apakah Anda ingin jawaban disajikan dingin atau panas? Memang tampak mendung di luar sana. Dan kebanyakan orang akan memesan sajian hangat. Tapi, siapa yang tahu apa yang diinginkan seorang pria dengan sejuta kebingungan di pundaknya?” sambungnya dengan gurauan yang manis.
Jujur, aku heran ia tak heran, karena kebutuhan yang diutarakan dengan lugas dan jujur memang seharusnya mengundang heran.
“Jika kau memberiku pertanyaan, maukah kau menjawabnya saja sendiri, nona? Aku benar-benar muak dengan jawaban. Kemanusiaan, keadilan, dan apakah revolusi itu benar-benar ada? Kurasa sore ini sudah cukup membunuhku,”
Tangan kanannya menari di atas secarik kertas dengan mulut melengkung tesenyum. Tak tampak sedikitpun kerut kebingungan pada dahinya. Ia lantas kembali ke meja bar dan meninggalkan secarik kertas bertuliskan, “Answer is comin.”
Aku memandangnya dari sudut ruang ini, ia sibuk berdansa dengan seni meracik kopi saat Come Together- The Beatles dimainkan. Mata itu fokus pada takaran dan suhu. Aku yakin dia bermaksud menyajikan sesuatu yang spesial untukku dan pikiranku.
Ia kembali ke mejaku membawa secangkir kopi. Tanpa kupersilakan, ia duduk di depanku. Tanpa senyum dan tanpa sapa. Bibirnya yang berbalut lipstik merah itu kemudian diletakkannya di bibir cangkir. Sialan, kopi itu bukan untukku.
“Mari membuat kesepakatan tak tertulis. Jadilah aku pendengar. Kau pencerita. Apa itu resah yang menjadi pertanyaanmu. Ku mohon sajikan dalam bentuk yang ku suka… dan kau perlu tahu, aku suka merah,”
“Kenapa kau harus menyukai merah saat realitas hanya berisi tentang kertas putih dan tinta hitam?”
“Bukankah manusia memang selalu menginginkan yang tak benar-benar ada? Aku juga suka unicorn dengan tanduk pelangi. Tapi aku lebih suka saat dia berwarna merah. Bagaimana denganmu, apakah kau menyukai unicorn?”
Kenapa wanita ini tak pergi saja dari meja ini dan membiarkanku mati tanpa meminum secangkir kopi. Tidakkah dia membaca non-verbal ku bahwa aku hanya ingin sendiri dan menangis tanpa hujan dari mata.
“Tidak. Aku tidak meletakkan ketertarikan pada hal yang tidak terbukti secara empiris.”
Ia memberikan sebuah tepuk tangan, “ Coba tebak siapa yang berkunjung ke kedai kopi yang sedang sepi? Dia adalah reinkarnasi dari Sartre.”
“Kenapa Sartre? Apa karena aku menganggapmu sebagai neraka?”
“Aku tidak orang lain. Aku orang yang sama. Aku sama. Kau tahu, semua orang itu sama.”
Jawaban yang cukup manis. Aku tertarik denan wanita ini. Aku ingin mengajaknya keluar dari ruang dan waktu yang tak bersahabat dan bercerita kepadanya tentang kebohongan-kebohongan yang sudah dibangun umat manusia sejak dulu demi membentuk sebuah realitas yang bukan ku terima sebagai realitas. Namun, lihatlah keluar jendela. Apakah yang mereka rencanakan belum terealisasi? Kupikir sudah. Siapa bilang bumi adalah cerita tentang manusia yang menangis; atau tentang pohon yang ditebang, atau tentang kisah cinta yang singkat antara pelacur dengan seorang pria yang sudah meminum 3 botol minuman keras. Dunia benar-benar hal yang tak terdefenisikan.
“Aku setuju. Maukah kau menerima ajakanku untuk menyapa laut dan mendengar nyanyian angin?”
“Tidak. Kecuali kau membayar kopi yang sudah kuminum ini.”
Aku lantas mengeluarkan uang Rp20.000, meletakannya di atas meja dan segera berdiri dari tempat itu lalu pergi menuju motorku. Sedangkan wanita yang tak kuketahui namanya ini hanya mengambil kunci dan menutup kedai kopi itu. Ia lalu duduk berboncengan denganku.
Kami menuju pantai yang sudah berwarna biru tua dengan sedikit pantulan bulan di atasnya. Adalah bibir pantai, tarian ombak, dan nyanyian angin yang kami rasakan. Saat ini jarum jam pada jam tanganku menunjukkan pukul 18.58 WIB. Benar-benar waktu yang tepat untuk menyapa malam yang sudah bertukar posisi dengan sore.
Jalanan malam ini tidak benar-benar sepi. Ada pohon kelapa yang menari-nari menyambut kami.
“Apakah kau pernah ke sini sebelumnya?” tanyaku hanya untuk mengurai hening.
“Mungkin sudah 3 atau 4 kali. Terakhir kali aku kesini hanya untuk mencoba menantang hidup. Maksudku, bunuh diri,”
“Kenapa tak kau lakukan?” tanyaku dengan serius
“Aku belum mandi saat itu. Kau tahu, aku tak ingin bertemu sang pencipta dalam kondisi belum mandi,”
Dingin dan kami diam. Yang bersuara hanya angin yang bernyanyi dan ombak yang menari. Dia menatap ke atas, tepat ke arah rasi bintang yang tak ku ketahui namanya. Kupikir ia akan meneteskan air mata dari cerita yang tak ingin diceritakannya. Kalau ia menangis, aku akan membiarkannya. Aku juga hampir sama, belum ingin bernarasi, dan berjalan mendekati laut. Aku melepas bajuku dan melemparkannya ke laut. Biarkan dingin ini memeluk kulitku.
“AAAAA.. PERTANYAAN ITU!!!” teriakku dengan nada dan suara tinggi,”
Kemudian wanita itu tertawa dari belakangku. Ia berjalan juga ke arahku, dan menyuruhku untuk duduk di sampingnya.
“Kau tahu, alasan terkuat bagi seseorang untuk marah? adalah karena ia tidak mengerti akan hal itu. Dan ya, aku sudah menduga dari awal, bahwa kau akan marah. Karena kau tidak mengerti, kenapa pertanyaan itu datang dan apa pertanyaan itu akan mengenal jawaban,”
“Jadi, apakah kau bisa memberitahu jawaban dari pertanyaanku? Apakah revolusi itu benar-benar ada?”
“Kau benar lagi. Benar bertanya kepada seeorang yang tidak sedang dalam kondisi mabuk. Jawabannya adalah… YA REVOLUSI BENAR-BENAR HARUS ADA.”
Usai berteriak ia langsung mengambil gawainya dan earphone dari kantung sweater hitamnya dan memasang bagian kiri di telingaku dan bagian kanan di telinganya. Kami mengakhiri malam ini dengan lagu Lucy in the Sky With Diamonds.