Hits: 105
Star Munthe / Hazlina Ganif
“Dia bersuara, dia suka bertanya, dia tak memiliki wujud—tapi dia bukan hantu”
Pijar, Medan. Yang hadirnya tak diundang dan tak disadari, yang membunuh dengan lembut dan bisa saja tak kenal ampun, yang menampar hati dan wajah tapi tak bisa terbalas, yang kadang membunuh atau bisa saja menjadi pupuk penumbuh. Mereka menyebutnya Quarter Life Crisis, sebuah fase peralihan usia dan tanggung jawab.
“Apa ini yang sebenarnya aku inginkan? Apa aku sudah melakukan semuanya sesuai harapan? Apakah hidupku berguna? Kenapa aku harus memilih pekerjaan ini? Bagaimana aku bisa hidup seperti ini? Apakah aku masih layak untuk ini?“
Jika kamu pernah mempertanyakan hal yang sama seperti di atas dan kamu memasuki usia kepala dua, maka kemungkinan besar kamu sudah berada dalam fase ‘Quarter Life Crisis’ atau dengan istilah lain sindrom kegalauan usia kepala dua.
Seorang psikolog klinis, Alex Fowke mendefinisikan keadaan ini sebagai periode kegelisahan, keraguan dan kekecewaan seputar karier, hubungan, hingga situasi keuangan seseorang.
Penyebab dari krisis ini biasanya dikarenakan tuntutan dan tekanan dari lingkungan serta diri pribadi mengenai pencapaian hidup, juga mimpi-mimpi lain yang tidak atau belum direalisasikan. Ekspektasi yang tinggi sejak remaja tidaklah dapat dijalani dan diwujudkan ketika telah menginjak usia 20-an tahun.
Kerasnya kenyataan yang dialami saat dewasalah yang menjadikan psikis mereka yang sedang dalam usia tersebut berada dalam keadaan kegalauan usia kepala dua.
Laporan dari The Guardian menyebutkan bahwa, 86% usia muda mengalami fase Quarter Life Crisis. Fenomena tersebut memang hal yang wajar bagi remaja yang akan memasuki usia dewasa. Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul, disebabkan oleh mulai adanya tanggung jawab yang harus dipikul oleh orang dewasa, yang tidak dirasakan pada periode kanak-kanak sebelumnya.
Faktor utamanya adalah peralihan usia yang dibarengi dengan beban tanggung jawab. Kesenangan dan kebebasan yang dirasakan oleh usia kanak-kanak dapat dengan mudah menjadi kebalikannya saat memasuki fase dewasa. Dan lebih parahnya lagi, rasa galau yang mendalam tersebut dapat muncul tanpa pemicu.
“Ini bukan ujian semester, tapi pertanyaan-pertanyaan yang sulit muncul dikepalaku—dan ku rasa ini akan membunuhku secara perlahan.”
Quarter Life Crisis bukanlah pembunuh berwujud tokoh film Horor. Ia menjelma dalam bentuk kalimat-kalimat tanya yang bermunculan di kepala. Beberapa dari pertanyaan itu adalah awal dari kegelisahan. Dan kegelisahan-kegelisahan yang hadir itu harus segera diobati.
“Dulu sempat ngalamin sih, sedikit. Apalagi saat saya gak lulus seleksi CPNS. Rasanya bingung, malu, nyesal, semuanya campur aduk,” terang Sa’ban, seorang pemuda berusia 24 tahun lulusan Universitas Negeri Medan tahun 2017 lalu.
“Sekarang, biar enggak galau lagi, saya mencari kesibukan lain yang saya gemari, dan perbanyak sosialisasi dengan berdiskusi dengan teman-teman lama” tambahnya, saat ditanya mengenai cara mengatasi krisis seperempat kehidupan yang dialaminya.
Pikiran-pikiran negatif hanya menumbuh suburkan depresi itu. Alih-alih mencoba untuk melawannya sendirian, cobalah untuk menerima keadaan dan mendekatkan diri pada Tuhan dan melakukan komunikasi transdental (berdoa). Namun jika hal tersebut masih dianggap kurang—berceritalah kepada mereka yang mau mendengarkan. Percayalah selalu ada telinga untuk setiap keluh dan kesahmu.
Quarter Life Crisis ibarat bom waktu. Mereka yang berhasil menjinakannya akan tampil sebagai pribadi yang tangguh. Tapi bagi mereka yang gagal, akan berakhir dengan labirin depresi berat hingga ringan—dan sebagian lagi mengambil langkah bunuh diri. Lalu, pilihan ada ditanganmu Sobat.
(Redaktur Tulisan: Intan Sari)