Hits: 15

Hermita Uli Sigalingging

Aku ingin pergi, berlalu dan tenggelam. Tapi sungguh, aku lupa segalanya. Aku lupa bagaimana cara mengakhiri canduku kepada senja. Senja.. tak pedulikah kau dengan kerinduanku ini?

***

Aku masih berdiri di deretan jendela kamar. Aku terlalu enggan untuk melangkahkan kaki keluar kamar. Memutar kepala untuk melihat ke arah pintu kamar pun aku tak ingin. Sedari tadi aku hanya berusaha membiasakan telingaku dengan suara bising kendaraan di luar sana. Semilir angin yang menyeka rambut diwajahku seolah tak berarti dengan panasnya cuaca siang ini. Beberapa kali aku menyeka keringat diwajahku. Seluruh badanku basah seperti baru saja selesai mandi. Pendingin ruangan seolah tak bersahabat dengan panasnya cuaca siang ini. Bunga di taman dekat kamarku pun seolah menyerah dengan teriknya matahari. Aku menutup mata  dan menarik nafas dalam-dalam berusaha menenangkan hatiku. Tapi hembusan nafasku lepas dan bergetar begitu saja.

Aku tak ingin dua bening kembali mengalir dari telaga mataku. Sedari kemarin aku sampai tertidur di dekat jendela karena terlalu lelah menangis. Aku tak menyukai tempat ini. Sungguh. Hati kecilku benar-benar berontak dengan suasana baru ini. Itulah sebabnya aku melakukan aksi mogok makan sedari kemarin. Aku hanya bisa melakukan itu. Aku tak pernah berani berbicara langsung kepada Ayah dan Bunda, dengan melakukan aksi seperti ini aku berharap mereka mengerti aku.

“Semua orang bermimpi hidup di kota besar dan rumah besar seperti ini,” suara Ayah begitu menggelegar dari ruang tengah.

Sayup-sayup aku mendengar suara Bunda menenangkan Ayah. “Ayah jangan marah dulu, Ayah kan tau kalau Biru menyukai suasana di kampung,”.

Dua hari yang lalu, Ayah dipindah tugaskan ke kota besar. Keberhasilan Ayah memang menjadi kebahagiaan dalam keluarga kami. Aku sendiri bangga pada sosoknya. Ia bekerja tanpa kenal waktu untuk dapat sampai di titik ini. Namun, pindah ke suatu kota bukanlah impianku. Aku lebih menyukai suasana rumah yang jauh dari kebisingan, suara burung di pagi hari, cuaca yang begitu sejuk dan satu lagi senja di sore hari. Ya.. aku memang pecandu senja. Senja adalah satu-satunya alasan kenapa aku enggan untuk tinggal di kota.

“Tapi di kota juga ada senja” begitu kata orang setiap aku memberitahu alasanku. Aku tak ingin menjelaskan kepada mereka. Dengan menjelaskan kekagumanku kepada senja saja mereka sudah menatapku aneh sembari menahan tawa.

Sedari jam lima sore aku sudah duduk di dekat jendela untuk menilik senja. Ketika senja sudah datang aku langsung berlari ke lapangan luas dekat rumah. Aku seperti menemukan kebahagiaan sendiri setiap masa itu datang. Aku tak memperdulikan teriakan Bunda yang melarangku keluar rumah setiap sore. Aku tahu sebabnya, Bunda merasa risih dengan cibiran tetangga yang mengatakan aku kurang normal karena setiap sore aku berlari dan teriak di lapangan tersebut. Aku tidak menghiraukan mereka. Seperti kata mereka bahagia itu sederhana dan inilah bahagiaku.

***

“Apa yang kamu harapkan untuk besok” tanya Nada kepadaku. Nada adalah kakakku. Setiap sore kami selalu menilik senja dari jendela kamar dan mengucapkan permohonan kami untuk besoknya. Hal konyol ini selalu kami lakukan untuk melupakan setiap tugas yang menumpuk dari sekolah.

“Aku berharap besok ada pelangi,” kataku sambil mengedipkan mataku kepadanya.

“Besok akan ada pelangi tapi warna birunya gak ada,” katanya meledekku. “Aku berharap besok hujan dan jangan menangis ketika besok pelangi gak ada tapi hujan ada,” ia tertawa lepas.

***

Pagi itu badanku hangat, sehingga aku tidak bisa berangkat sekolah. Aku membuka gorden kamar, ternyata diluar gerimis. “Hujan ya,” tanya Nada sembari tersenyum. Aku tak menyahutnya. Aku hanya menangkap senyum kemenangan diwajahnya. Dari ruang makan aku mendengar Ayah meminta untuk mengantar Nada ke sekolah karena jalanan pasti licin. Tapi Nada menolak dan mengatakan ia bisa mengendarai motor sendiri.

Setelah Nada berangkat sekolah sekitar 20  menit, Aku mendengar suara teriakan Bunda dari ruang tengah. Segera aku keluar kamar dan menahan denyutan di kepalaku. Aku melihat Bunda terjatuh di dekat pintu. Aku melihat Pak Haris berdiri sembari menunduk didekat pintu.Aku menanyakan apa yang terjadi, dan saat itu aku seperti kehilangan kaki untuk berdiri. “Kakak kamu Nada kecelakaan dan telah dibawa ke Rumah Sakit tapi nyawanya tidak tertolong,”.

***

Sejak hari itu, aku merasa semuanya berakhir. Namun setiap kali melihat senja aku merasakan kehadiran Nada. Aku selalu berbicara sendiri di kamar setiap senja datang. Mengajak bayangannya berbicara dan pada akhirnya aku menangis dan membenci harapannya tentang hujan. Aku tak lagi menikmati senja dari kamar. Aku selalu berlari ke lapangan luas untuk melihat senja dan berteriak tentang semua harapan dan kerinduanku padanya. Bisa dibilang aku adalah pecandu senja. Terlalu banyak hal yang tidak bisa aku lupakan untuk meninggalkan tempat ini. Mungkin senja bisa dilihat dari setiap sudut kolong langit ini. Namun hembusan angin dan tempatku untuk berlari tidak seindah tempat ini.

“Semua adalah rencana-Nya Biru. Kamu hanya perlu terbiasa dengan tempat baru kita. Pindah ke tempat ini bukan berarti kita melupakan semuanya,” Bunda memelukku dan mengusap rambutku.

Aku menyadari alasan lain kami tinggal di kota besar ini bukan hanya untuk urusan pekerjaan Ayah. Tapi mereka ingin melihat aku seperti kemarin. Menjadi Biru yang selalu ceria dan tidak pernah kehabisan topik untuk dibahas. Aku mendengar semuanya secara jelas ketika Bunda membahas uring-uringanku kepada Ayah. Aku tau mereka juga tidak menginginkan kejadian kemarin dan mereka ingin yang terbaik buat aku. Tapi tetap saja, egoisku untuk kembali ke rumah sebelumnya lebih tinggi. Jika pun tidak bisa kembali ke rumah itu, aku ingin hari ini senja mendengar permohonanku.

“Kepada senja.. aku hanya ingin pergi.. tenggelam..  berlalu dan hilang tanpa bekas. Jangan tanya kenapa. Cukup tenggelamkanku dan bersinar kembali tanpa aku. Senja.. tak pedulikah kau dengan kerinduanku ini?”.

 

Leave a comment