Hits: 36
Grace Kolin
Pijar, Medan. Kamis (9/2) Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Sumut dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan bekerjasama menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Perempuan dalam Pusaran Kekerasan Seksual” pukul 10.00 WIB di D Palazz Cafe, Jl. DI Panjaitan No.132 Medan. Diskusi ini hadir sebagai bentuk kekhawatiran atas kasus kekerasan seksual yang saat ini banyak terjadi di tengah masyarakat di Indonesia.
Selain mengundang beberapa media, diskusi publik ini juga diikuti oleh berbagai asosiasi, diantaranya komunikasi pengajian perempuan (IM3), Pengajian Ar Rasyid, Kalangan Dunia Usaha, akademisi, mahasiswa dan ibu rumah tangga.
“Diskusi ini untuk membuka wawasan dan pandangan bagi anggota IWAPI dan masyarakat secara keseluruhan, untuk memahami bahwa kekerasan seksual harus dianggap serius dan ditangani dengan serius pula,” tegas Ketua IWAPI Sumut, Hj. Rosna Nurleli Siregar. Menurutnya, selama ini banyak kalangan wanita sendiri yang tidak memahami bahwa kekerasan seksual adalah tindakan yang melanggar hukum. Wanita sendiri harus menjadi tonggak untuk mendukung Undang-Undang yang akan melindungi mereka sendiri. “Kami sangat serius menanggapi kasus ini, oleh karena itu kami sangat mendukung agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu segera disahkan. Wanita butuh perlindungan hukum yang tegas,” ujarnya.
Kekerasan seksual terjadi tidak hanya di lokasi tertentu saja, akan tetapi di dalam rumah dan di kantor sendiri banyak terjadi kekerasan seksual. Mirisnya, 90 persen dari korban kekerasan seksual adalah kaum wanita. Namun, banyak sekali kasus kekerasan seksual berakhir tidak jelas dan dianggap ringan. Padahal, korban kekerasan seksual mengalami siksaan fisik, psikologis, sosial dan trauma.
Sementara itu, Divisi Perempuan, Anak dan Kelompok Marjinal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Endah Lismartini, media saat ini kebanyakan semakin memperparah kondisi psikologis korban kekerasan seksual. Berita kekerasan seksual sampai saat ini masih menjadi isu yang sangat menarik untuk dipublikasikan. Akan tetapi, dalam banyak pemberitaan, korban justru tidak dilindungi, malah cenderung disudutkan. Misalnya, dalam penulisan nama, publikasi alamat, sekolah sampai orang-orang terdekat. Padahal, peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban sendiri, sudah menjadi momok yang menakutkan. Apalagi bila ditambah dengan pemberitaan yang tidak berimbang dan terkesan menyudutkan, tentunya korban akan semakin menambah penderitaan. “Jurnalis seharusnya tidak mengikuti permintaan pasar dengan cara ikut memperkosa korban dari sikap sosial masyarakat,” tegasnya.
Kordinator Divisi Perempuan dan Anak AJI Medan, Sri Wahyuni Nukman menuturkan, pemerintah harus menghargai kaum perempuan dengan segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. DPR RI seharusnya menanggapi isu kekerasan seksual dengan lebih serius. “Kami mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” pungkasnya.