Hits: 25

Alfi Rahmat Faisal

PIJAR, Medan. “Ara.. Ara… Tunggu..,” seru Onet teman sekelasku dari kejauhan sambil berlari. “Ada apa?” jawabku sambil menoleh. Nampak dari kejauhan Onet berlari tergopoh, hujan membasahi seragam sekolah kami berdua. Tubuh kurus Onet tampak ringkih dibalur tetesan bening air hujan. Hari itu Sabtu, sekolah telah usai, sedang hujan masih sibuk bercengkrama dengan bumi sejak pagi tadi. Onet menghampiriku.

“Ale Ra.. Ale..”  Nafas Onet tersengal-sengal. “Ale bakal pindah ke Aceh, Ra, ikut o…rang tua..nya,” kata-kata Onet meluncur disambut napas yang terputus-putus. “Ini Ra, dia nitipin surat buat kamu”.

Saat itu rintik hujan anggun menyentuh tanah bergantian, namun aku hanya berdiri mematung menyaksikan alunan demi alunan rinainya.

***

Hari itu 19 Desember 2004, hari ulang tahunku dan aku masih ingat ketika cowok itu datang kepadaku. Langkahnya yang buru-buru langsung menuju ke arahku dan langsung mengenggam tanganku.

“Ara… Met ultah ya, ciyee makin tembem, hahaaha!” tangannya mencubit pipiku lalu sebuah kotak kecil meluncur dari tangannya. Tak sempat aku berterimakasih dia sudah membalikkan badannya kemudian berlalu dengan cepat meninggalkanku dengan muka polos kebingungan.

Itulah Ale-ku. Kami bersahabat sejak kecil. Setiap jam pulang sekolah kami selalu pulang bersama dan setiap pagi Ale selalu menungguiku di depan rumah. Banyak kenangan yang sudah kami lalui bersama sejak kecil dari yang lucu sampai sedih. Aku mungkin tidak akan pernah lupa ketika kami kelas 5 SD Ale harus terbaring kritis satu bulan di rumah sakit karena luka yang cukup parah digigit anjing Pak Norman tetangga sebelah rumah, gara-gara kami melempari pohon rambutan beliau. Seharusnya aku yang digigit tapi Ale melindungiku. Tubuh kecil Ale terpental jauh digigit anjing yang ukurannya lebih besar hampir tiga kali badan Ale. Aku menangis sejadi-jadinya melihat Ale bersimbah darah, paha kirinya robek 9 senti dan Ale harus kehilangan jempol kakinya dan pincang. Sejak hari itu aku tidak pernah bisa memaafkan diriku sendiri dan hingga saat ini aku benar-benar menyayangi Ale, aku berjanji akan melakukan apapun untuknya.

Bel pulang sekolah berbunyi, semua siswa berhamburan keluar. Sepertinya cuaca hari ini tidak bersahabat, baru saja keluar rintik hujan mulai membasahi bumi dan kemudian saling bergantian menyentuh tanah. Aku mengeluarkan payung dan memakai jaket yang sudah kusiapkan sebelum berangkat ke sekolah tadi pagi. Ale sudah menungguku di gerbang sekolah. Aku dan Ale menyusuri jalan pulang. Ale menggandeng tanganku, tidak seperti biasanya benakku.

“Ara, aku mau ngomong sesuatu,” tiba-tiba Ale memecah keheningan di tengah deras hujan.

“Yaudah ngomong aja.”

“Tapi jangan ketawain ya.”

“Emang mau ngomong apa?”

“Janji dulu.”

“Iya deh iya janji.”

Ale menggenggam tanganku lalu mata nya menatapku lamat-lamat.

“Ara, I love you.”

Empat kata keramat yang membuatku membeku, satu kecupan di pipi kiri, lalu Ale berlari menjauh. Sementara aku mematung. Sejenak terasa sunyi, jantungku berdegup kencang lalu kembali terdengar alunan ritme hujan tapi masih terasa sepi. Dari kejauhan tampak Ale tertawa bercengkrama dengan rinai hujan. “Sialan kamu Ale, bilang apa barusan … hah?” aku melepas sepatu dan berlari menyusulnya, ingin rasanya kusumpal mulutnya dengan sepatu. Hari itu aku lupa bagaimana membedakan rasa asin air hujan atau air mataku sendiri. Apa daya kami hanya remaja kecil dengan celana biru diatas lutut yang sedang dimabuk asmara.

Sejak  hari itu sempurna aku jatuh cinta kepada Ale untuk kesekian kalinya. Cinta monyet pertamaku.

***

Aceh, 26 Desember 2014..

“Paman Ale sekarang dimana, Ma?”

“Dia udah di surga sayang, kita doa ya buat Paman Ale. Ini udah sampai.”

“Namanya sama ya Ma seperti namaku, Ale.”

10 tahun sudah sejak peristiwa hebat itu menyapu semua yang dilaluinya tak terkecuali dia, Ale-ku. Aku duduk nelangsa di sebuah pemakaman massal Ulee Lheu Banda Aceh. Sebuah monumen mengabadikan peristiwa bersejarah itu. Monumen tersebut bisa juga merangkap batu nisan karena tak ada nisan khusus untuk setiap korban, hanya ribuan mayat yang ditumpuk dalam satu liang.

Rintik hujan akhirnya turun lagi, anggun menyentuh tanah bergantian. Aku mematung dihadapan batu nisan menyaksikan alunan demi alunan rinainya, meresap semua kenangan cinta monyetku Ale.

Leave a comment