Hits: 8

Muhammad Zahrawi

Pijar, Medan. Keruntang-pungkang hasrat Sanubari dikejar-kejar Belati. Berkejaran, dilempari api abadi. Dibayang-bayangi. Dibunuh sepi sampai mati. Kejang-kejang, mati. Keji sekali bak malaikat api berlagak suci. Aku Sanubari, bukan Berlian seribu karat murni.

Kejam nian kau wahai Belati.

Kau koyak-koyak hasrat Sanubari sampai saripati. Sampai habis, sampai mati. Sampai Gelora pergi bersembunyi di balik kabut pagi. Sampai sepi mengoyak sepi. Terkoyak-koyak sendiri. Lagi dan lagi.

Kau rancap sendiri. Bersama Kompeni. Berdua-duaan sendiri. Mengaminkan perih dari bilur yang kau ukir sendiri. Sembari rancap sendiri. Sembari pergi melempari api abadi. Membayang-bayangi. Bersama sepi membunuh sampai mati. Sampai kejang-kejang mati. Sampai Gelora pergi menjelma kabut pagi.

Telanjang.

Sampai Aku telanjang tanpa kulit di tengah hari. Tetap saja Aku disini, menunggu dihabisi, dibakar api abadi, dikoyak-koyak sepi sampai mati. Sampai kau puas rancap sendiri. Sampai senja datang menghampiri, malam mengikuti, dan Aku berkata pada pendar pembawa sunyi, pada surya penunggang sepi, pada angin musim semi yang tak hangat lagi.

“Pudarlah! Berikan segalanya pada salju bertahta api”

Seperti api yang berucap pada salju di penghujung hari, “Abadilah. Jangan hanya berkobar kemudian padam, seperti Aku pada Kembang yang dijadikannya Pijar.”

Sampai Aku melebur pada malam yang menghampiri, tak berbekas lagi.

Leave a comment