Hits: 14

Apriani Pratiwi

Pijar, Medan. Hidup dalam sepi memang sangat menenangkan. Tapi hampa juga membuat aku jenuh. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA. Aku tidak pernah lupa tentang kejadian itu. Faris, orang yang selalu menghiburku hingga aku bisa tersenyum.  Karena Faris, aku jadi tahu apa itu bahagia. Bahagia yang tidak harus tertawa. Bahagia dalam kesederhaan sudah cukup bagiku.
Saat itu, aku sedang membaca buku di perpustakaan. Itu adalah kebiasaanku. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu di perpustakaan. Dan Faris adalah cowok yang sangat suka olahraga. Dia suka bermain basket. Tapi, malangnya aku, aku tidak pernah bisa bersikap seperti cewek lain yang selalu bisa bercanda dengannya. Aku terlalu tertutup untuk itu. Hingga aku putuskan untuk menjauhinya. Lagipula, siapa yang mau berteman denganku? Aku sudah dicap oleh teman-teman sekelas sebagai cewek yang membosankan. Ya, memang benar. Bahkan, aku dianggap tidak ada di kelas itu. Padahal aku ingin bermain dan bercanda dengan mereka.

Hari itu adalah hal yang mustahil bagiku. Saat pulang sekolah aku melihat Faris menyapaku dan mengajakku ke taman. Aku malu. Sangat malu dan gugup. Kami berbincang-bincang di taman. Tapi aku tidak tahu mengapa ia mengajakku ke sini. Dan kemudian ia berkata, “Vey, mulai besok belajar bareng yuk.”

Aku tercengang. Aku melihat ada sesuatu yang aneh padanya. “Ya, iya bisa,” jawabku. Dan berawal dari itu lah, kami dekat. Setiap pulang sekolah kami selalu belajar bersama. Hal yang menakjubkan adalah nilai Faris meningkat. Aku sangat senang dengan perubahan nilainya yang semakin membaik. Hari berlalu begitu cepat, hingga hasil akhir aku dan Faris mendapat peringkat pertama dan kedua. Tapi, saat itu aku tidak melihat Faris. Aku mencarinya hingga akhirnya aku melihatnya bersama teman sekelasku, Dea. Aku mendekati mereka dan bersembunyi di balik pintu ruang kelas. Betapa kecewanya aku mendengar pernyataan faris. Aku menangis sebisa mungkin. Selama ini ia mendekatiku hanya untuk mendapatkan peringkat. Dan agar diterima menjadi pacar Dea jika ia mendapat peringkat tertinggi. Aku marah kepadanya dan aku mendengar semua ucapannya. Aku sungguh tidak tahan dengan semua yang permainan yang ia lakukan. Aku berlari sejauh mungkin.

“Aku benci Faris,”  kataku dalam hati. Aku tidak peduli ia mengejarku. Aku terus berlari sekuatku.

 Brrrreekk. Langkahku mendadak berhenti. Aku melihat orang-orang di sekitar berlari dan cemas. Aku kemudian menoleh ke belakang. Dan aku lihat Faris telah berlumuran darah.
“Faaariiss….!!” jeritku sambil berlari mendekatinya. Aku menangis sejadinya. Faris, satu-satunya orang yang mau berteman denganku, meninggal karena mengejarku. Aku merinding campur takut. Aku merasa bersalah. Aku sangat menyesal tapi aku tidak menerima atas sikapnya kepadaku.

Setelah kepergiannya, hidupku kembali sunyi. Aku kembali menjadi aku yang dulu. Yang selalu berkata dalam diam. Apalagi setelah kepergian Faris, teman-teman sekelasku semakin membenciku. Kenapa bukan aku saja yang meninggal waktu itu? Kenapa harus Faris? Aku sangat menyesal. Dan aku sangat tidak tahan dengan perlakuan teman-teman yang selalu mencemooh ku karena kepergian Faris. Dan saat itu, orangtuaku memindahkanku ke sekolah lain. Dengan berat hati, aku meninggalkan semua kenangan pahit yang aku alami di sekolahku. Dan aku tidak akan pernah lupa dengan Faris. Dia adalah orang pertama dalam hidupku.

Leave a comment