Hits: 187

Nurul Sukma Asghar

Terik mentari yang menembus jendela berhasil membuka kedua kelopak mataku. Berat sekali. Langit-langit yang tak pernah berubah selalu menjadi pandangan yang kudapati tiap kali membuka mata. Aku melirik pada jendela di sampingku, cuaca di luar sangat terik. Ruangan ini pun terasa pengap. Tubuhku beranjak duduk, sementara salah satu tanganku sibuk berkelana di sepanjang ranjang mencari handphone-ku. Aku membuka layar. Sial, pukul setengah 12 siang.

Tak apa, tak apa. Tak ada yang mencariku. Seluruh kegiatanku selesai beberapa hari yang lalu, saatnya aku beristirahat. Tapi kenapa aku kesepian?

Aku beranjak mandi. Setelahnya aku kembali ke kamar. Aku menyetel lagu “Runtuh” dan terduduk di hadapan jendela. Pikiranku melayang pada salah satu kegiatanku yang baru selesai. Begitu banyak orang yang mengincar kesempatan yang aku dapatkan, tapi entahlah. Aku merasa biasa saja. Merasa hidup pun tidak. Pada mulanya aku merasa sangat amat bersemangat. Namun pahlawanku mematahkannya. Seseorang pernah berkata ia menyukai aku yang bersemangat. Sedikit membebani pikiran, apakah aku benar-benar se-tidak bersemangat itu menjalani kehidupanku?

Orang-orang berkata aku beruntung, harusnya aku bersyukur. Sesekali aku bersyukur, sesekali aku merutuki kehidupanku dan diriku. Apa, di mana letaknya keistimewaanku? Seperti orang lain, aku juga bangsat. Ah, tidak, aku jauh lebih bangsat dibandingkan orang lain.

Lamunanku terbuyar. Ck! Lagi-lagi bertengkar dengan isi kepala. Dasar pikiran! Kau berisik. Hari ini terasa berat. Aku menoleh pada lengan kiriku, tersenyum tipis. Syukurnya satu goresan di malam Oktober itu tidak berbekas. Aku menoleh ke bawah, melihat jempol kaki kananku. Syukurnya luka ulah jemariku tak juga tak berbekas. Kemudian aku mengelus kepalaku, ia patut menerima apresiasi karena sudah kuat menahan kepalan tanganku.

Helaan nafas keluar dari mulutku. Tidak disangka juga, aku pernah sebenci itu dengan diriku. Ingatanku sangat membekas pada satu malam di bulan Oktober. Kala itu aku menangis tak karuan, ingin mati saja. Andai besok tak ada, andai besok aku tak terbangun. Pikiran pengecut itu ingin melarikanku dari kehidupan.

Memeluk diriku sendiri adalah hal yang biasa. Ketika kau tak ingin seseorang pun mengetahui sisi gelapmu, yang bisa menemanimu di saat jatuh hanyalah dirimu sendiri. Aku kembali menghela nafas. Sedikit tersenyum tipis, aku bersyukur aku dapat melalui semua ini. Aku masih tenggelam pada luka yang entah kapan ia akan pulih. Entah bagaimana juga menyembuhkannya. Entah apa lagi yang akan ditimbulkan oleh jurang kepahitan itu. Aku pernah berkata aku ingin mati, aku ingin hidup. Sudahlah, saatnya untuk hidup.

Leave a comment