Hits: 57
Grace Kolin
Pijar, Medan. Dalam peringatan Dies Natalis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU) ke-37, Program Studi Sosiologi FISIP USU mengadakan kegiatan Seminar Nasional bertajuk “Gerakan Sosial Baru di Indonesia Dalam Perspektif Post-Truth Dan Post-Struktural”, Kamis (9/11). Bertempat di Ruangan Senat Akademik Biro Rektorat USU, Dr. Haryatmoko selaku Dosen Universitas Sanata Dharma dan Dr. Phil. Ichwan Azhari, MS. selaku Dosen Universitas Negeri Medan menjadi pemateri utama dalam seminar nasional ini.
Dr. Harmona Daulay, S. Sos., M. Si mengatakan perlunya sebuah kajian-kajian sosiologis untuk menjawab perubahan-perubahan dari efek dari media sosial yang lahir di era masyarakat global. Efek dari media sosial ini telah mengagetkan bagi banyak orang, termasuk generasi X dan generasi Y.
“Ini menjadi tema yang menarik dan aktual seperti kita ketahui bersama di dalam era globalisasi dan keterbukaan informasi sekarang ini, kita benar-benar disuguhkan berbagai berita yang benar, tidak benar seolah-olah benar, atau benar tapi tidak benar,” ujar Harmona dalam kata sambutannya.
Seminar nasional ini menjadi ajang untuk meningkatkan pemahaman dan menggali potensi akademis peserta. “Kami berharap kegiatan ini memberikan manfaat bagi kita, dan kita bisa menyerap sebanyak-banyaknya informasi, wawasan dan pengetahuan dari narasumber kita,” kata Husni Thamrin, S.Sos., MSP., Wakil Dekan I FISIP USU sekaligus membuka seminar nasional ini.
Post-Truth menjadi fenomena masa kini. Fenomena ini muncul bersamaan dengan berkembangnya fenomena hoax yang tengah masif menyentak akal sehat masyarakat dan dunia politik. Minimnya verifikasi kredibilitas informasi membuat kebohongan dapat masuk dengan mudah melalui celah kebingungan masyarakat dalam membedakan antara berita, opini, fakta dan analisis. Akibatnya, ketegangan dan konflik mudah dipicu.
Haryatmoko mengkhawatirkan ancaman hoax menjelang masa pemilu 2019 yang akan datang. Pasalnya, Post-Truth dapat digunakan senjata politik desinformasi dan instrumen persuasi massa. Pesan secara sengaja diciptakan agar mudah menyentuh emosi dan membungkam pikiran kritis dan analitis masyarakat. Berkembangnya media alternatif seperti WhatsApp, Facebook, blog pribadi, SnapChat, Twitter, Youtube semakin memudahkan tersebarnya berita hoax.
“Sebetulnya kan kebohongan sejak dulu sudah biasa di politik. Mengapa menjadi lebih parah? Karena munculnya cara baru mengakses opini publik. Media alternatif makin mapan. Sehingga yang terjadi apa? Penyebaran berita palsu membuat banalisasi kebohongan. Banalisasi itu, bohong itu menjadi hal yang biasa. Orang tidak merasa bersalah,” terang Haryatmoko.
Fenomena Post-Truth juga menjadi masalah bagi para sejarawan. Azhari mengakui masalah yang serupa pada bidang sejarah. “Post-Truth ini sangat mengancam kebebasan akademik, analisis data. Dan jangan-jangan, Post-Truth ini bisa mematikan. Membungkam riset-riset ilmiah, dalam bidang sejarah dan antropologi,” tutur Azhari.
Haryatmoko menawarkan tiga solusi untuk menghadapi Post-Truth. Pertama adalah media literasi. “Kita itu lemah di media literasi. Salah satunya mudah bereaksi. Membuat keputusan dan tanpa sadar membuat dia tersulut. Media ini membuat kita tidak reflektif lagi. Membuat kita tidak punya waktu untuk mengambil jarak. Semua dihadapi dengan spontan,” Haryatmoko menyebut istilah itu dengan logika waktu pendek, dimana semuanya harus serba cepat dan menghasilkan.
Post-Truth juga dapat ditangkal dengan jurnalisme baru. Menurutnya, fokus jurnalisme bukan pada lagi menceritakan, tetapi harus berani memverifikasi. “Kekuatan jurnalisme berada di verifikasi data, premis-premis pernyataannya, kemampuan mendeteksi berita tidak benar, menghancurkan dan menggusur berita-berita bohong agar tidak diberikan tempat.” Solusi selanjutnya adalah manajemen konflik. “Yang semakin sulit adalah manajemen konflik. Apakah nantinya ini akan masuk ke cara pendidikan ke depan? Ini yang belum diperhatikan dalam Post-Truth,” kata Haryatmoko.