Hits: 13
Shafia Marwah
Dibawah puluhan bintang malam ini, aku mengingat begitu banyak memori indah bersama sahabatku Risa. Ia sahabat yang begitu amat pengertian dan sabar dalam menghadapi segala hal dan situasi. Bersamanya, aku sosok yang sangat mudah panik ini selalu merasa nyaman.
Kami melewati hari-hari pada saat SMA bersama, bukan waktu yang panjang jika di perhitungkan hingga hari ini. Namun entah mengapa aku selalu merindukannya.
“Lita bangun! Kau akan terlambat ke sekolah!,” hanya itu yang dapat ku dengar setiap pagi disaat sudah waktunya untuk sekolah. Alarm ku tidak pernah bekerja dengan baik di telinga ku, tapi suara Ibu tidak pernah gagal melakukan tugasnya untuk membuatku bergegas berpindah dari kasurku.
Aku berangkat dengan menggunakan angkutan umum dan segera pula ku dapati wajah sahabatku di depan pintu gerbang sekolah. “Risa!,” Ia hanya tersenyum dengan manis dan itu selalu membuat teman lelaki di sekolah kami menyukainya. “Bagaimana bisa bangun pagi selalu terlambat lit?.”
“Ris, tugas rumah kita banyak kan? Wajar dong.”
Risa snagat mengerti semua permasalahan yang sedang kualami, Ia mampu dengan tenang memberikan nasehat dan semangat padaku di saat aku sedang terpuruk. Percintaan, keluarga, sekolah, masalah ku yang mana yang tidak ada Risa nya mendampingi? Jelas tidak ada! Aku sangat sayang pada sahabatku Risa.
Ujian Nasional sebentar lagi akan mendatangi Aku dan Risa, pebincangan kami pun sudah berubah topik. Tidak lagi tentang make-up, bukan pula para gebetan-gebetan ganteng yang sangat kami kagumi. Melainkan tentang masa depan perkuliahan yang selanjutnya akan kami jalani. Tidak pernah ku bayangkan bagaimana rasanya berpisah dengan Risa.
“Tenang aja lit, kita bakalan sekampus,” kata Risa.
“Nah, mestinya kan kamu yang risau, kan aku orangnya mudah bergaul dan dapat teman baru Ris, hahaha.”
“Eh ntar kita ketemu ya selesai ujian tes, makan siang bareng la di cafe biasa”, ujarku lewat telpon dengan Risa. Ia hanya menjawab dengan santai. Risa terlihat sangat bersemangat disaat aku merasa sangat lelah karena baru saja menghabiskan tenaga untuk berpikir keras agar dapat menjawab soal-soal yang begitu banyak.
“Gimana lit soalnya?.”
“Ya gitu Ris, kamu gimana? Bisa ngejawabnya?.”
“Bisa dong.”
Ketika kami bersama, waktu demi waktu begitu cepat terlewati.
Hari yang ditunggu seluruh makhluk di bumi ketika berumur 17 hingga 18 tahun ini pun tiba. Ya, pengumuman kelulusan masuk Universitas Negeri yang masing-masing telah dipiih tiap siswa dan siswi. Aku lulus, seorang Lita yang sangat panik bisa dengan tenang melihat hasil kelulusan tersebut. Namun, herannya aku tidak mendapati nama Risa, dan saat itulah aku mulai mendapati diriku panik. Aku mengulangi pencarian dan masih tidak ku dapati nama sahabatku tersebut. Dengan cepat aku langsung mengambil telepon rumah dan segera menghubungi Risa.
Teleponku tak kunjung diangkat satu orangpun penghuni rumah Risa. “Ayo siapapun tolong angkat,” hingga Ibu menghampiri ku dan bilang, “Sudah terlalu malam, besok saja dilanjut menghubungi Risa, Lit.” Aku tidur dengan tidak tenang, banyak pikiran melayang-layang di kepalaku. Dan itu semua pikiran buruk, “Bagaimana jika Risa benar tidak lulus.” “Risa akan mengambil kuliah dimana?.” “Risa pasti sangat sedih.” Perasaan ku bercampur antara senang Karena kelulusanku dan juga sedih karena sahabatku tidak lulus serta tak memiliki kabar.
Pagi ini aku bergegas bangun, tanpa alarm dari jam dan alarm pribadi kesayanganku yaitu Ibu. Selesai dari mandi, aku sarapan dan pamit izin dengan Ibu untuk langsung menuju rumah Risa. Dengan menggunakan angkutan umum aku berangkat. Di perjalanan pikiranku semakin kacau, Karena hingga pagi ini pun Risa tak kunjung berkabar.
Aku pun sampai di rumah Risa, kaki ku terasa kaku tak dapat digerakkan. Badanku rasanya mematung seketika saat aku melihat sebuat tulisan sangat besar. Tulisan ini sangat membuatku kaget dan sulit untuk mempercayai. Bahwa rumah Risa ‘DIJUAL’. Pintu tertutup rapat, pagar terkunci baik dengan gemboknya. Tak ada kudapati seorangpun didalam sana. “Apa maksud dari semua ini?,” aku berteriak keras serta meneriakkan nama Risa. Hal ini membuat tetangga pun keluar dan bertanya-tanya apa yang terjadi dengan diriku. Ibu Wulan tetangga Risa memegangiku yang terlihat lemas dan berkata “Lita tidak tahu? Risa pindah kemarin pagi. Ayah nya yang sudah lama pergi, kemarin kembali. Tapi Ibu juga kurang tau pasti mereka pindah kemana”.
Dimasa saat ini, untuk mencari seseorang namun tidak memiliki alamat nya maka sulit untuk mendapati seseorang tersebut. Aku tertegun dan memutuskan untuk kembali pulang dengan hati yang sangat sedih.
Ibu memelukku yang menangis, bagaimana bisa Risa sampai hati tidak mengatakan semua hal ini kepadaku. Apa sulitnya mengatakan bahwa sebenarnya Ia akan pindah. Dalam satu bulan hidupku sangat sedih, aku dihantui perasaan “Perbuatan jahat apa yang telah kulakukan sehingga Risa tidak berpamitan?.”
Awal perkuliahanku buruk, dikarenakan pikiran dan hatiku masih memikirkan sahabat ku yang menghilang layaknya ingin memberikan ku sebuah kejutan, namun pada akhirnya memilih untuk menghilang selamanya. Disini, di kampus ini aku memiliki banyak teman namun tidak ada yang dapat menggantikan posisi kedekatan seperti Aku dan Risa. Aku tidak hentinya bertanya kepada teman-teman sekolah dulu yang mengetahui keberadaan Risa. Dan betapa menyedihkannya posisiku, sebagai seorang sahabat dekat yang tidak tahu apa-apa.
Perkuliahan ini kujalani sebaik mungkin, jam demi jam, hari demi hari, minggu demi minggu, hingga akhirnya aku dapat melewati waktu 2 tahun tanpa Risa. Kuliah ku selesai begitu saja. Berjalan mulus namun tidak menarik. Ntah bagaimana caraku bertahan selama 4 tahun ini. Seharusnya aku tidak terlalu memikirkan Risa, Karena bisa saja dia pun tidak memikirkan ku sama sekali. Kalau Risa perduli denganku tidak mungkin dia sampai hati membiarkan ku hampir 4 tahun ini tanpa kabar darinya dan keluarganya.
Rindu ku benar-benar tertahan, aku tidak pernah bisa tahu bagaimana cara melepas rindu ini. Hati ku sering sesak ketika mengingat Risa. Wajahku murung, Rasanya bumi begitu besar dan tak ada satu orangpun yang peduli denganku. Aku sangat sering berpikir seolah-olah Risa masih ada di dekatku.
Aku mendapat panggilan interview dari sebuah perusahaan ternama di kota ku, dimana sebelumnya aku mendaftarkan diri sebagai calon pegawai di kantor tersebut. Sudah tiga tahap berhasil ku lewati, dan interview adalah tahap akhir. Semua berjalan mudah, aku lulus begitu saja. Semua berpihak padaku dalam melakukan semua hal, kecuali persahabatan.
Hari pertama bekerja membuatku begitu deg-degan. Bagaimana tidak, dua bulan yang lalu aku masih seorang mahasiswi. Aku berpakaian sesuai dengan aturan dan berdandan tidak berlebihan. Pergi menuju kantor menggunakan taksi online, dan sampailah pada kantor yang telah resmi menjadi kantorku.
Kejadian yang tak dapat ku sangka, entah mimpi apa diriku kemarin malam. Aku bertemu dengan Risa di kantor. Heranku, Risa menggunakan seragam security. Sudah sangat jelas pakaian tersebut lebih baik digunakan pada laki-laki.
Langsung ku pegang tangannya, dan kami berpelukan. Tidak dapat dibohongi, meskipun ada perasaan kesal karena perlakuan Risa hampir 5 tahun lalu, namun rindu yang begitu mendalam tidak dapat mencegah hasrat kami untuk menangis dalam pelukan bersama.
Aku langsung mengajak Risa ke sebuah kafe di dekat kantor pada saat jadwal makan siang. Ia menjelaskan semua padaku dengan sangat detail. Bahwa Ayah Risa telah ditipu dan bangkrut. Mereka terpaksa pindah karena Ayah Risa di cari-cari oleh polisi.
Risa tidak pernah mendaftarkan dirinya untuk mengikuti tes ujian masuk Universitas Negeri, Ia berbohong kala itu. Bodohnya aku tidak pernah bertanya mana surat ujiannya waktu itu.
Risa sudah lama bekerja di kantor sebagai security sejak 6 bulan setelah lulus SMA, mengapa aku tidak pernah melewati kantor ini pada waktu kuliah. Mengapa kami dipertemukan dengan keadaan seperti ini. Risa meminta maaf padaku, Ia selalu memikirkan betapa sulitnya mengatakan semua permasalahannya padaku.
Aku memeluk Risa dan aku berkata padanya, “Aku tidak ingin kejadian seperti ini terjadi lagi Ris, beritahu aku. Aku pasti semampuku membantumu sahabatku.”
Ku temukan lagi sahabatku, dan semua semangat hidupku telah kembali. Aku benar-benar sangat merindukannya. Dan rasa rinduku lebih dari banyak nya bintang malam ini. Bahkan bintang yang begitu bersinar tak kan mampu menahan rindu seperti apa yang kurasakan selama ini.