Hits: 63
Medan, kota yang kerap disebut sebagai jantung Sumatera Utara, menampilkan pesona yang memikat siapa pun yang datang. Deretan gedung tinggi menjulang bak lambang kemajuan, jalanan di pusat kota berkilau diterpa lampu, dan suara riuh kendaraan menandakan denyut ekonomi yang terus bergerak. Kota ini seakan menampakkan kesempurnaan dalam balutan modernitas.


Namun, di balik gemerlapnya pusat kota, terbentang sisi lain yang sunyi dan sering terabaikan. Di beberapa titik, halte bus tampak rusak dan terbengkalai. Bangku-bangku yang seharusnya menjadi tempat istirahat kini justru tidak ada. Halte tersebut pun ditinggalkan begitu saja, seakan dibangun hanya untuk dipajang, bukan untuk digunakan.


Objek-objek spesifik pada halte turut memperkuat narasi keterabaian. Besi penyangga berkarat seolah menunggu waktu untuk patah. Lampu-lampu yang seharusnya menyala saat malam justru tak ada. Lantai yang pecah-pecah membuat orang harus hati-hati agar tidak tersandung. Halte itu bukan lagi tempat transit, melainkan monumen kecil dari sistem transportasi yang gagal memberi rasa aman dan nyaman.



Trotoar yang mestinya jadi jalur aman bagi pejalan kaki tampak rusak parah. Retakan dan lubang di mana-mana, membuat para pejalan kaki menjadi tidak nyaman saat berjalan di trotoar.


Di tengah pemukiman padat, berdiri bangunan-bangunan kosong yang tampak tak terurus. Dindingnya kusam dan ditumbuhi oleh tumbuhan liar dan lumut. Bagian luar dinding dipenuhi oleh aksi vandalisme yang tidak bertanggung jawab, serta beberapa bagian tembok sudah mulai lepas. Namun, yang lebih menyedihkan, beberapa dari bangunan kosong itu kini berubah menjadi tempat pembuangan sampah. Tumpukan kantong plastik, sisa makanan, dan barang-barang tak terpakai berserakan, menciptakan potret nyata ketidakpedulian terhadap lingkungan.



Di pusat kota, sebuah penghargaan Adipura yang dulu menjadi kebanggaan kini tampak mengenaskan. Monumen itu kehilangan besi pada beberapa huruf yang menjadi simbol kejayaan. Plakatnya mulai pudar dan penuh noda, mencerminkan hilangnya semangat menjaga kebersihan yang dulu diagungkan.


Rel kereta api yang melintang di beberapa wilayah kota juga tak luput dari kondisi serupa. Di beberapa sisi rel, sampah menumpuk begitu saja, tanpa pembatas atau tempat penampungan yang layak. Padahal, area di sekitar rel semestinya bersih dan bebas dari tumpukan sampah, mengingat fungsinya sebagai jalur transportasi publik yang seharusnya terjaga. Namun, kondisi ini justru dibiarkan berlarut, seperti telah menjadi bagian dari pemandangan sehari-hari.

Tumpukan sampah juga terlihat di sekitaran sungai yang membuatnya tampak tak terawat. Terlihat beberapa anak sedang bermain di sungai yang keruh, dengan kondisi tepiannya telah menjelma menjadi tempat pembuangan akhir yang tak resmi. Meski begitu, masih terdapat masyarakat yang beraktivitas di tengah kondisi yang memprihatinkan. Di balik aktivitas mereka, tersimpan kenyataan getir: tak semua orang punya akses pada ruang hidup yang bersih dan sehat.



Foto ini bukan sekadar rangkaian gambar. Ini adalah cerita tentang Medan yang sesungguhnya. Tentang kota yang masih berjuang untuk menjadi rumah bagi semua. Pembangunan bukan hanya soal gedung tinggi atau jalan mulus di pusat kota. Kota yang maju adalah kota yang merangkul semua, dari pusat hingga ke pinggiran.
Kita semua punya peran. Pemerintah punya kewajiban untuk merawat dan membenahi, sementara kita sebagai warga punya tanggung jawab untuk menjaga, merawat, dan bersuara. Medan adalah rumah kita bersama. Rumah yang tak hanya indah dipandang, tetapi juga nyaman ditinggali. Untuk itu, mari sama-sama kita menjaga dan membangun kota ini agar lebih baik. Karena di balik sisi tergelap kota ini, ada cahaya redup yang bisa kita nyalakan kembali.
Foto esai ini disusun oleh Adinda Amelia dan Rifki Partogi sebagai konseptor, Rifki Partogi dan Ferdi Rakiven Sianturi sebagai narator, Marshella Febriyanti sebagai editor, serta Marshella Febriyanti dan Adinda Amelia sebagai desainer tata letak.
