Hits: 31
Theodora Stephanie Laowo / Syah Hendra Mahadi
Pijar, Medan. Di zaman sekarang, banyak sekali orang yang menilai seseorang secara mentah-mentah dengan hanya mengandalkan indikator dalam bentuk rupa mereka. Secara spontan dan berkala, pemikiran ini mendirikan persepsi dan ekspektasi terhadap individu yang memiliki tampilan menarik.
Memiliki tampang rupawan merupakan salah satu hal yang sangat diidamkan oleh semua orang. Tidak sedikit orang berpikir bahwa memiliki tampang yang rupawan sesuai standar tertentu merupakan suatu kunci untuk masuk ke banyak pintu. Hal ini sering dikenal dengan sebutan beauty privilege atau hak istimewa yang diberikan karena rupa seseorang.
Kita sering kali suka melihat orang-orang rupawan mendapat perhatian khusus dan perlakuan positif lebih banyak dari masyarakat. Tak jarang sebagian orang menganggap bahwa memiliki tampilan fisik yang menarik menjadi kunci rahasia untuk memiliki kehidupan yang nyaman.
Beauty privilege dianggap sebagai suatu keberuntungan. Namun, di balik tirai keindahan tersebut terdapat realitas yang jauh berbeda. Meskipun individu yang dimuliakan dengan penampilan menarik sering mendapatkan perlakuan istimewa, ada aspek-aspek tertentu yang dapat membuat pengalaman hidup mereka tidak selalu membahagiakan.
Salah satu dampak negatif dari beauty privilege adalah merasa diperlakukan lebih dari sekadar manusia biasa. Beauty privilege dapat menciptakan tekanan untuk terus mempertahankan standar tampilan yang mungkin tidak realistis.
Standar kecantikan dan ketampanan tersebut dituntut untuk diwujudkan oleh orang yang dianggap dapat memenuhi standar. Tekanan untuk selalu mempertahankan penampilan yang sempurna menjadi pikulan beban yang berat.
Hal ini memicu ketidakpuasan diri dan kurangnya rasa percaya diri saat individu tersebut tidak memenuhi harapan, atau merasa tidak nyaman dengan perubahan fisik mereka seiring waktu. Pada akhirnya, ketika mereka merasa kurang dan tidak mampu untuk memenuhi ekspektasi tersebut, mereka terganggu secara psikologis.
Hubungan dengan diri sendiri dan dengan orang lain dapat runyam. Seringkali, orang yang memiliki beauty privilege hanya akan dihargai atau diinginkan hanya berdasarkan penampilan fisik mereka, yang dapat mengaburkan pengembangan hubungan yang sejati.
Vindy, salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP USU) pernah mendapat penilaian buruk dari teman-temannya hanya karena rupa menawan yang dia punya.
“Saat itu, saya berhasil memperoleh sesuatu dengan kerja keras saya, tetapi mereka tidak melirik hal itu. Mereka mengatakan, karena rupa saya yang cantik menjadi penyebab saya berhasil mencapai sesuatu tersebut. Saya merasa kesal dan sedih karena penyimpulan mereka. Namun, saya diam dan secara tersirat menunjukkan kepada mereka bahwa saya layak mendapat itu memang karena perjuangan saya,” ungkapnya.
Terkadang, hubungan tersebut mungkin didasarkan pada tampilan semata, tanpa memperhitungkan nilai-nilai atau kepribadian yang sebenarnya. Ini bisa menyebabkan perasaan kesepian atau sulit membedakan antara niat baik dan motif yang tersembunyi.
Selain itu, hak istimewa ini juga dapat menciptakan bayangan sosial yang sulit untuk diatasi. Masyarakat cenderung menganggap orang yang cantik sebagai beruntung secara otomatis, tanpa mempertimbangkan tantangan dan perjuangan yang mereka alami di bidang lain. Bayangan serta harapan yang tidak realistis ini memberikan tekanan tambahan pada individu untuk mempertahankan citra yang selalu positif di mata orang lain.
Penting untuk diingat bahwa kecantikan dan ketampanan hanyalah salah satu aspek dari identitas seseorang. Perlu disadari bahwa nilai-nilai internal dan keterampilan pribadi juga berperan penting dalam membentuk keberhasilan dan kebahagiaan.
Beauty privilege tidak menjamin kebahagiaan. Melihat keindahan sebagai satu-satunya sumber keistimewaan dapat merugikan individu tersebut secara keseluruhan.
(Redaktur Tulisan: Marcheline Darmawan)