Hits: 40
Sinta Wulandari
“Menjadi buruh di negeri ini bak seonggok tubuh dengan ‘tangan dan kaki terikat’! Betapa tidak, kehidupan sosial-ekonomi mereka relatif memburuk, meskipun kebebasan berserikat, berkumpul, dan berekspresi semakin terbuka” – John Ingelson (2004).
Pijar, Medan. Hari Buruh atau yang secara internasional lebih dikenal dengan istilah May Day, diperingati setiap tanggal 1 Mei. Peringatan Hari Buruh ini merupakan wujud pengorbanan dan perjuangan para buruh dalam menuntut sebuah perubahan. Peringatan Hari Buruh Internasional tidak terlepas dari adanya revolusi industri pada tahun 1886 di Amerika Serikat.
Hari Buruh Internasional dijadikan momentum bagi kaum buruh untuk menyuarakan keluh kesah dan menuntut hak-hak serta perbaikan nasib mereka. Menilik dari segi historisnya, Hari Buruh memang menjadi tradisi tahunan. Para buruh akan turun ke jalanan untuk menuntut apa yang menjadi hak mereka, meskipun upaya advokasi ketenagakerjaan dilakukan nyaris setiap hari.
Rutinitas demonstrasi dinilai sukses menginspirasi generasi selanjutnya untuk melakukan hal yang sama. Hal ini dilakukan guna melanjutkan perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan dan perlakuan yang merugikan para buruh. Musuh para buruh tidak hanya otoritarianisme dan kolonialisme. Namun, kombinasi dari monopoli perdagangan dan pengaruh kekuasaan juga semakin mempersulit buruh dengan perundangan-undangan yang dibuat.
Di tengah gempuran era digitalisasi dan revolusi industri 4.0, tantangan buruh pun mengikuti arus perkembangan zaman. Tidak hanya harus berurusan dengan perusahaan dan pemerintah, kini para buruh juga harus bersaing dengan teknologi yang semakin canggih. Perusahaan bahkan sudah mulai menggantikan pekerjaan manusia dengan mesin dan robot. Bergantinya pola produksi dari manual menjadi otomatis mengakibatkan pekerjaan manusia juga akan berkurang. Lantas, bagaimana nasib buruh saat ini?
Mengutip dari DailySocial.id, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mencanangkan poin-poin untuk menghadapi era digitalisasi. Diantaranya adalah energi terbarukan untuk kelistrikan, bangunan dan transportasi; kendaraan listrik, dan transaksi online. Untuk merealisasikan misi tersebut, dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengembangkan kurikulum pendidikan.
Romi Satrio Wahono, dosen teknologi informasi (TI), dalam wawancaranya dengan DailySocial.id berpendapat bahwa untuk menghasilkan SDM yang berkualitas dan berafiliasi dengan teknologi, mahasiswa harus diajak untuk menjadi proaktif. Adanya pengembangan terhadap kurikulum pendidikan menjadi pendorong untuk mengajak mahasiswa dapat terhubung dengan para praktisi, komunitas, atau bahan ajar yang terbuka di internet.
Pemerintah adalah garda terdepan dalam mewujudkan kesejahteraan buruh dan menjadi solusi bagi masyarakat umum yang tidak mampu secara soft skill dalam menghadapi gempuran era digitalisasi. Pendidikan dan sosialisasi adalah langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi ketidaktahuan masyarakat, guna mempersiapkan pekerja yang benar-benar siap menghadapi era digital.
(Redaktur Tulisan: Marcheline Darmawan)