Hits: 98

Muhammad Farhan

Pijar, Medan. Sebagaimana para penggemar Korean Pop (K-pop) begitu mencintai idol-nya, sampai-sampai ada yang memimpikan untuk menikah dengan idolanya meski menyadari bahwa kecil kemungkinan hal tersebut akan terwujud, demikian pula terjadi kepada para penggemar sepak bola belakangan ini.

Mereka memahami bahwa mencintai idol tak ada salahnya, bahkan jika para idolanya mengalami skandal, para penggemar rela pasang badan demi membela idolanya. Aksi tersebut pada nyatanya terjadi dikarenakan fanatisme para K-popers kepada idolanya.

Fanatisme secara harfiah berdasarkan KBBI yaitu keyakinan dan rasa percaya terlalu kuat terhadap suatu hal, tak terkecuali penggila K-pop. Sehingga, hal tersebut menjadi obsesi yang kian merajai diri seseorang. Tak hanya di dunia K-pop, fanatisme juga hadir dan menyebar luas di dunia sepak bola.

Wajar, kalau berdiskusi mengenai sepak bola memang tidak akan pernah ada ujungnya. Hal apa saja yang berkaitan olahraga ini pasti bisa didebatkan. Contohnya seperti, Messi atau Ronaldo? Barca atau Madrid? Klopp atau Pep? Dan beragam pertanyaan lainnya. Bahkan, hal-hal sepele mengenai offside pemain juga bisa menyebabkan perang urat di antara suporter.

Gesekan antara klub sepak bola di berbagai belahan dunia juga seakan menimbulkan perdebatan hingga perang dingin di antara suporter mereka. Bahkan bukan hanya perang urat syaraf, baku hantam yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa pun bisa membara. Api yang semakin besar itu juga mulai menyambar ke kehidupan sehari-hari para suporter.

Suatu paham yang diyakini dan secara terus menerus diulang pada sistem yang tertutup, menyebabkan orang yang berada di dalam sistem tersebut memaknai serta menjadikan paham tersebut sebagai acuan nyata dirinya. Itulah yang menyebabkan sulitnya menghindari kemunculan tembok api pemisah di antara suporter klub-klub sepak bola. Ketika itu terjadi, akhirnya muncul pembatas serta pembagian kelompok, suporter A dan B, hingga memunculkan sebuah polarisasi

Aneh tapi nyata, bahkan terkadang nyawa juga seakan tak lagi berharga di mata mereka. Aksi saling melukai bahkan membunuh juga sering terjadi di kalangan supoter. Tak usah jauh-jauh ke negara lain, di Indonesia saja para penonton acapkali berurusan dengan aparat kepolisian. Bahkan, fanatisme tadi bisa berujung mendekamnya di hotel prodeo.

Terkadang, hal seperti ini juga dapat terjadi karena rasa fanatisme yang tak terbendung tersebut didampingi oleh suatu paham tertentu. Jika diulik lebih dalam, setiap basis suporter pastinya memiliki paham mereka masing-masing. Tujuan mereka hanya satu, menjatuhkan mental lawan ketika berada di lapangan hijau.

Kita ambil contoh The Jak (Persija) dan Viking (Persib), dua suporter klub raksasa Indonesia ini lengket dengan istilah konflik. The Jak memiliki paham bahwa Persib adalah rival atau musuh abadi mereka, sehingga Viking yang merupakan basis suporter Persib menjadi musuh mereka di luar lapangan. Begitu juga berlaku sebaliknya.

Namun, pemain kedua belas alias suporter ini memiliki peran begitu berarti ketika di lapangan. Saking sakralnya, tembang-tembang yang dilantunkan ketika tim mereka sedang berlaga menjadi motivasi. Bukti nyata adalah ketika Anfield mampu menumbangkan Barcelona ketika leg kedua Liga Champions yang membuat pasukan The Reds melenggang ke Final 2019 lalu.

Pendukung yang baik adalah pendukung yang mampu mendukung secara bijak. Jika tim idolamu kalah, sudah saatnya kau dukung. Jika tim idolamu menang, tak ada salahnya untuk disanjung.

(Editor: Rassya Priyandira)

Leave a comment