Hits: 15
Hidayat Sikumbang
“Penonton Indonesia masih belum begitu percaya dengan kemampuan sutradara kita untuk film sains-fiksi. Jauh lebih enteng untung mengeluarkan uang 35 ribu rupiah lalu nonton film jumpscare atau haha-hihi ketimbang nonton film sains-fiksi.”
Pijar, Medan. Hari ini tepat pada tanggal 30 Maret 1950 adalah hari pertama pengambilan gambar film Darah & Doa atau Long March of Siliwangi yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Konon, ini adalah film asli Indonesia yang disutradarai oleh orang asli Indonesia, dan diproduksi oleh perusahaan film milik orang Indonesia, yakni Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia).
Gejolak Indonesia dalam perfilman tanah air perlahan-lahan mulai menampakkan tajinya. Dari setiap dekade, tentu ada film yang akan dikenang. Ibaratkan api dalam bara kayu, sedikit demi sedikit lama kelamaan api akan membesar. Bergejolak. Begitulah keadaan yang terjadi sekarang ini.
Dahulu kita mengenal film Si Doel Anak Betawi (1973), lalu satu dekade selanjutnya film Naga Bonar (1986). Ada banyak film-film lawas menjadi titik awal dari seorang tokoh pemeran film. Salah satunya yaitu Daun di Atas Bantal (1998). Julie Estelle mengawali kariernya di dalam film yang disutradarai oleh Garin Nugroho.
Hingga memasuki awal tahun 2000an, film-film Indonesia mulai menampakkan sinarnya. Sejak film Petualangan Sherina (2000) mencetak rekor box office, perfilman Indonesia semakin bergairah. Puncaknya adalah ketika Ada Apa Dengan Cinta (2002) rilis. Industri film Indonesia semakin menjadi-jadi.
Gie (2006) barangkali menjadi salah satu film Indonesia yang sukses memikat hati penikmat film berjenis biografi. Lalu secara bersamaan di 2008, film Ayat-ayat Cinta (2008) dan Laskar Pelangi (2008) berhasil mengambil hati pecinta film nasional.
Hingga sekarang, kita mengenal film-film sekelas The Raid (2011), 5 CM (2012), hingga Pengabdi Setan (2017), hingga Gundala (2019). Namun, di antara semua film yang sudah tercatatkan di daftar, masih belum ada film Indonesia yang beraroma sains-fiksi. Hal inipun diakui oleh Yusron Fuadi, Sutradara dari film Tengkorak (2018).
“Produser pernah mencoba, lalu gagal. Wajar dong kalau mereka kapok. Sci-fi (sains-fiksi) yang bagus plus bonus mikir di Amerika juga kemungkinan gagal lebih tinggi dari Sci-Fi yang aksesible untuk semua umur, contohnya film seperti Blade Runner, Annihilation, Children of Men jauh lebih susah dijual daripada Star Wars atau Superhero/Sci-finya Marvel,” ungkap Yusron.
Ia pun menambahkan, bahwa apa yang terjadi di Indonesia saat ini bisa jadi sama dengan apa yang terjadi di Amerika beberapa tahun lalu.
“Di Amerika Sains Fiksi jadi budaya populer juga baru 70an gara-gara Spielberg-Lucas-Cameron-Scott. Tentu saja sebelum itu sudah ada, Kubrick, Tarkovsky, hingga Series Planet Of The Apes dan banyak yang lain. Tapi mungkin, tidak terlalu populer,” tutup Yusron.
(Redaktur Tulisan: Intan Sari)