Hits: 14

Yayang Prilli Wandari

Pijar, Medan. Pada tanggal 18 April hingga 25 April 1955, catatan sejarah nasional Indonesia menandai sebuah peristiwa sejarah yang terjadi di Gedung Merdeka, Bandung, sebuah konferensi antara Negara-negara Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan. Konferensi yang bertujuan untuk menjalin kerjasama ekonomi dan melawan kolonialisme dari para Negara imperialis ini disebut sebagai Konferensi Asia Afrika.

Berakhirnya Perang Dunia II pada Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia. Karena masih ada didapati permasalahan baru yang muncul di beberapa belahan dunia.

Kawasan Asia dan Afrika mengalami penjajahan yang menjadi masalah krusial sejak abad ke-15. Walaupun sejak tahun 1945 banyak negara terutama di Asia, memperoleh kemerdekaannya, seperti Indonesia, Republik Demokrasi Vietnam, Filipina, Pakistan, India, Birma, Ceylon, dan Republik Rakyat Tiongkok. Namun, masih banyak Negara lainnya yang berjuang bagi kemerdekaannya seperti, Tunisia, Maroko, Kango, dan di wilayah Afrika lainnya.

Beberapa Negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah dari sisa-sisa penjajahannya dan masih banyak terjadinya konflik antar kelompok di dalam suatu Negara.

Ditambah lagi dengan lahirnya dua blok yang bertentangan secara ideologi, yaitu Blok Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat (kapitalis) dan Blok Timur di bawah pimpinan Uni Soviet (komunis) yang semakin memanaskan situasi dunia.

Ketika itu perang dingin berkembang menjadi konflik perang terbuka, di mana perlombaan pengembangan senjata nuklir meningkat yang mengakibatkan tumbuhnya ketakutan dunia akan kembali dimulainya Perang Dunia.

Meskipun pada masa itu telah dibentuk badan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas dalam menangani masalah dunia. Namun, kenyataannya belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut dan sebagian besar dampaknya diderita oleh bangsa-bangsa di Asia Afrika yang ternyata menjadi cikal bakal lahirnya ide pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.

Dikutip dari Detik.com, berawal dari surat Perdana Menteri Sri Lanka Sir John Kotelawala pada awal tahun 1954 yang mengundang Ali Sastroamidjojo yang kala itu menjadi perdana menteri Indonesia untuk menghadiri pertemuan Kolombo. Selain Ali, Kotelawala juga mengundang PM India Jawaharlal Nehru, PM Birma U Nu serta PM Pakistan Muhammad Ali, untuk membahas isu ketegangan di kawasan Indocina (sekarang Vietnam).

Pada tanggal 26 April 1954, Ali berangkat ke Kolombo dengan bekal pesan dari Presiden Soekarno, untuk menyampaikan ide diadakannya Konferensi Asia Afrika dalam rangka membangun solidaritas Asia Afrika dan menghapuskan penjajahan, yang pada saat itu usul tersebut diterima oleh semua peserta Konferensi Kolombo walaupun masih dalam suasana skeptis.

Usaha persiapan Konferensi pun dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan melakukan pendekatan kepada 18 Negara Asia Afrika melalui saluran diplomatik. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pendapat tentang ide dilaksanakannya Konferensi Asia Afrika, yang ternyata mereka dapat menerima ide itu dan menyetujui bahwa Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi tersebut.

Konferensi KAA atau yang kadang juga disebut konferensi Bandung ini akhirnya dapat terlaksana dan dihadiri sebanyak 29 negara dimana total penduduknya mencapai lebih dari setengah populasi bumi saat itu.

Hasil Konferensi Asia Afrika ini berupa 10 poin kesepakatan dan pernyataan dalam Dasasila Bandung, yang berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia, dimana konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan Non-Blok pada tahun 1961.

Peringatan 64 tahun dilaksanakannya Konferensi Asia Afrika hari ini menandai sejarah bahwa Indonesia beserta Negara-negara di Asia Afrika menjunjung perdamaian dan kemerdekaan bangsa serta menentang penjajahan dan kolonialisme di dunia.

Hal ini juga membuktikan bahwa, dalam waktu yang singkat bangsa Indonesia telah berani mengusulkan dan bersedia menjadi tuan rumah bagi konferensi yang memiliki taraf internasional.

(Redaktur Tulisan: Intan Sari)

Leave a comment