Hits: 60

Dinda Nazlia Nasution

PIJAR, Medan. Secara harafiah, Haeuhhwa diartikan sebagai seorang Gisaeng (wanita yang berprofesi sebagai penghibur raja dan para bangsawan di Korea pada zaman Dinasti Goryeo dan Dinasti Joseon) atau dalam bahasa Jepang dipanggil Geisha.

Film ini tidak begitu populer untuk milenial Indonesia, pun begitu film ini diam-diam mengantongi penghargaan dalam ajang 4th BIFF with Marie Claire Asia Star Awards 2016 dan sarat akan nilai-nilai sejarah.

Menyaksikan film ini menggiring penonton ke suasana penjajahan di masa lampau. Penonton akan disuguhi berbagai penampilan musikal tempo dulu yang sangat memikat.

Film berdurasi dua jam tersebut, diperankan secara apik oleh Han Hyo-Joo (W, 2016), Yoo Yeon-seok (Reply 1994, 2013), dan Chun Woo-Hee (Sunny, 2011) yang terlibat dalam cinta segitiga yang rumit yang mempertaruhkan sebuah prinsip yang terjadi saat Korea masih dijajah oleh Jepang.

Jeong So?yool (Han Hyo-Joo) dan Seo Yeon?hee (Chun Woo-Hee) adalah dua sahabat karib yang berjanji menjadi Gisaeng sampai tua nanti. Namun keteguhan akan ucapan ini diuji saat mereka mendapat tawaran untuk menyanyikan sebuah lagu pop (yang pada zaman tersebut belum populer) dari seorang musikus handal, yang juga kekasih hati So-yool. Sebagai seorang sahabat, So-yool tak mampu menyembunyikan kabar gembira ini dari Yeon-hee dan turut mengajaknya ikut serta bertemu dengan Yoon-woo.

Bermula dari keinginan untuk melatih hingga akhirnya kembali jatuh hati. Yoon-woo mulai menyadari ia menaruh rasa kepada sahabat kekasih hatinya tapi tidak menemukan cara yang tepat untuk memberitahu So-yool. Karena ini hanya akan memberikan jurang pemisah dan jarak namun ia meyakini jatuh cinta kembali adalah sebuah hak.

Pergumulan batin ini semakin sukar, saat lagu yang dinyanyikan oleh Yeon-hee meledak di pasaran dan digandrungi banyak orang. Ditambah dengan kedekatan antara pacar dan sahabatnya, So-yool merasa terkhianati.

Tak kuasa menutupi emosi dan hasrat cemburunya, So-yool mendekati dan mengatur strategi bersama Hirata Ito, seorang Direktur Istana Gubernur Jepang pada masa itu untuk mengupayakan segala cara agar menghentikan Yeon-hee.

Dari ambisi menjadi kompetisi, So-yool merilis piringan hitamnya sendiri yang nyatanya mentah-mentah ditolak oleh selera pasar karena ketidaksesuaian antara nada dan suara.

Semula pertemuan So-yool dengan Hirata hanya khusus mempertunjukkan kehebatan So-yool dalam menyanyikan Jeong-ak (musik yang khusus dimainkan di lingkungan bangsawan dan lingkungan kerajaan). Hal tersebut membuat Hrata terkesima dan meminta ‘lebih’. Namun hal tersebut secara halus ditolak oleh So-yool, yang dengan tegas mengatakan ia hanya menjual suara, tidak dengan lainnya.

Alasan lain ia melakukan ini adalah wujud kesetiannya terhadap Yoon-woo, walau kenyataannya rasa sayangnya tak terbalas adil. Meski kemudian So-yool justru ‘mengkhianati’ prinsip yang selama ini ia pedomani dengan menjadi seorang selir.

Apa yang dilakukan So Yool, membuktikan pengkhianatan mampu merubah identitas seseorang. Pun demikian, ia sukses membendung amarah dendam yang kejam dalam diam.

Akhir dari cerita ini juga cukup anti mainstream dan tak terduga. Satu pesan dalam film ini, “Penghianatan tidak mengenal konsep sahabat ideal seperti punyamu adalah punyaku dan punyamu adalah punyaku.”

(Redaktur Tulisan: Viona Matullessya)

Leave a comment