Hits: 7
Dini Aisyah Waliyah
Pijar, Medan. Aku berjalan seorang diri menuju sebuah toko buku bernama Hiroko. Nama toko buku berbau Jepang ini, sangat jauh dari identitas pemiliknya yang memiliki garis keturununan Suku Jawa. Hiroko memiliki fasilitas yang lengkap, sehingga membuatku selalu betah berada di toko buku ini. Dapat dikatakan, tempat nongkrong kalau sedang butuh hiburan.
Mengingat omelan mama mengenai keahlianku dalam hal memasak, hari ini aku memutuskan mencari “Resep Memasak Paling Jitu dan Lengkap”. Setelah cukup lama mengelilingi toko buku, akhirnya aku menemukan apa yang kucari. Memang toko buku kesayanganku ini tidak pernah mengecewakan. Perasaan senang ini muncul hingga aku bergerak ke sana kemari. Saking girangnya, aku tidak sengaja menyentuh seorang lelaki yang sedang serius membaca di sebelahku. “Duh! Maaf bang,” kataku pelan. Dengan wajah kesal lelaki itu menjawab, “Heboh sekali ya! Iya, tidak apa-apa.”
Esok harinya, aku pergi bersama sahabatku Maya dan Lia. Sore itu kami habiskan untuk sekedar nongkrong di sebuah Cafe favorit kami, Lims Cafe. Saat berkumpul dengan mereka memang selalu membuatku lupa waktu dan segalanya. Di sela cerita dan tawa, mataku menangkap sebuah pemandangan yang aneh. Seorang lelaki di seberang meja sedang memperhatikanku. Wah! kami bertemu lagi! Hatiku berkata cepat setelah mengenali sosok lelaki di Toko Buku Hiroko kemarin. Dia melihatku tidak berkedip. Spontan aku melihat ke belakang, memastikan tidak ada siapa-siapa di belakangku. Aku melepas senyum ke arahnya seoalah melupakan kejadian kemarin. Aku mematung sejenak melihat senyuman balasan darinya. Sahabat-sahabatku yang menyaksikan kejadian ini langsung meledekku, “Ciyeee! Nayla, siapa dia?”. Aku yang sudah terlanjur malu langsung mengajak mereka pulang. Kami pergi, tanpa kulirik dia sedikitpun.
Hari demi hari pun berlalu. Setelah kejadian itu aku jadi sering memasak, mencoba resep-resep dari buku baruku. Belum lama memasak, mama mengajakku pergi ke pasar buah. Kalau sedang berbelanja, mama memang tidak kenal kata lelah. Aku yang mudah lelah hanya bisa terduduk sambil memegang gadget. Tiba-tiba aku menyadari keberadaan seseorang tepat di hadapanku. Aku menengadah ke atas. “Hai,” kata lelaki di toko buku itu lagi. Dengan terbata-bata aku bertanya, “Eh, ka-kamu, kok disini?.”
Dua bulan setelah percakapan itu, kami rutin bertemu. Lelaki misterius dan menyenangkan itu bernama Joy. Kami memiliki hobi yang sama, membaca buku. Hari demi hari terlewatkan, kami pun berkomitmen menjalin hubugan. Saling mengisi kekosongan, saling percaya, saling menasehati, dan mendukung satu sama lain.
Tepat dua tahun berpacaran, kami merayakannya dengan berlibur ke Yogyakarta. Bersama Missel, adiknya Joy, kami mengunjungi semua tempat yang ada di kota yang penuh keindahan itu. Kami sangat menikmati perjalanan ini. Saat mengunjungi Candi Prambanan yang merupakan lokasi terakhir pada liburan ini, salah seorang penduduk mengingatkan sebuah kepercayaan dimana sepasang kekasih dilarang keras untuk masuk ke dalam candi. Kami hanya tertawa mendengarnya. “Itu hanya mitos, tidak usah dipikirkan,” kata Joy. Meskipun Missel kelihatan ragu namun aku dan Joy tidak menghiraukannya. Kami melupakan mitos itu, bercanda tawa, bersenang-senang, dan tidak lupa mengabadikannya dengan kamera.
Berat rasanya meninggalkan kota dengan segala keindahannya ini. Bagaimanapun tetap harus kembali ke kota asal dengan segala realitanya. Sepulang dari Yogyakarta, ada saja hal-hal yang menjadi permasalahan bagi hubungan aku dan Joy. Hubungan kami tidak seperti dulu lagi. Joy jadi cuek terhadapku dan kami lebih mementingkan diri sendiri. Kami sama sekali tidak mau tahu apa penyebabnya. Aku juga semakin kehilangan kepercayaan terhadap Joy. Sampai akhirnya aku benar-benar tidak mempercayainya lagi, aku melihatnya bersama perempuan lain. Walaupun Joy berusaha keras meyakinkanku bahwa itu semua hanya salah paham, bagiku ini adalah peristiwa yang meyakinkanku bahwa Tuhan tidak lagi menginginkan kebersamaan kami. Aku tidak lagi menghiraukannya. Perlahan, kami bungkam dan saling melupakan.